Minggu, 06 November 2016

Fiqih- Hukum Mawaris

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
      Diantara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang ditetapkan Allah adalah aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan pemilikan yang tinbul sebagai akibat dari suatu kematian. Harta yang ditinggalkan oleh seorang yang meninggal dunia memerlukan pengaturan tentang siapa yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya, dan bagaimana cara mendapatkannya.
      Aturan tentang waris tesebut ditetapkan oleh Allah melalui firmannya yang terdapat dalam Al-Qur’an, terutama surah An-nisa’ ayat 7,8,11,12, dan 176, pada dasarnya ketentuan Allah yang berkenaan dengan warisan telah jelas maksud, arah dan tujuannya.
      Hukum kewarisan islam atau yang juga dikenal the Islamic law of inheritance mempunyai karakteristik tersendiri jika dibandingkan dengan sistem hukum lainnya.[1]
1.2  Rumusan Masalah
a.       Apa Itu Pengertian Mawaris Atau Teminologi Faraidh ?
b.      Apa Hak Masing-Masing Mawaris?
c.       Pengertian Ashabul Furudh dan ashabah
d.      Pengetian dan pembagian dzawil arham
e.       Pengertian Al-Hajb
f.       Ketentuan Hukum Mawaris?
1.3  Tujuan Penulisan
a.       Untuk Mengetahui Pengertian Mewaris Atau Yang Biasa Di Sebut Dengan Terminiligi Faraidh!
b.      Untuk Mengetahui Apa Apa Saja Hak Masing Masing Mewaris!
c.       Untuk Memahami Apa Itu Ashabul Furudh dan Ashabah!
d.      Untuk Mengetahui Pengertian dan Pembagian Dzawil Arham!
e.       Untuk Memahami Pengertia  Al-Hajb!
f.       Untuk Mengetahui Apa Saja Penyebab dan Penghalang Mendapatkan Harta Warisan!
g.      Ketentuan Hukum Mewaris!


















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ilmu Mewaris
       Dalam Al-Quran telah dijelaskan jenis harta yang di larang mengambilnya dan jenis harta yang boleh diambil dengan jalan yang baik di antara harta yang halal boleh_diambil ialah harta pustaka. Dalam al-Quran dan Hadist telah di atur cara pembagian harta diatur cara pembagian harta pustaka dengan seadil-adilnya, agar harta itu menjadi halal dan berfaedah.[2]
       Firman Allah swt:

“janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan tidak sah (batil0, “(Al-baqarah: 188)
       Ilmu mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang cara pembagian harta yang telah di tentukan  dalam Alquran dan  Hadits.cara pembagian menurut ahli mawarits adalah yang terbaik, seadil-adilnya dengan tanpa melupakan hak seorang ahli waris sekalipun terhadap anak-anak yang masih kecil.
       Ilmu mawaris disebut juga dengan ilmu faraidh, ilmu faraidh merupakan suatu cara yang sangat efektif untuk mendapat pembagian warisan-warisan yang berprinsip dan nilai-nilai keadilan yang sesungguhnya.
       Ilmu mawaris dan ilmu faraidh pada prinsipnya adalah sama yaitu ilmu yang membicarakan tentang segala sesuatu yang berkenan dengan harta peninggalan orang yang meninggal dunia.
A.    Ahli Waris
     Orang-orang yang boleh (mungkin) mendapat pustaka dari seorang yang meninggal dunia ada 25 orang, 15 orang dari piihak laki-laki dan 10 orang dari pihak perempuan:
a.       Golongan dari laki-laki
1.      Anak laki-laki dari yang meninggal
2.      Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu) dari pihak anak laki-laki dan terus ke bawah asal pertalinya masih terus laki-laki.
3.      Bapak dari yang meninggal
4.      Datuk (kakek) dari pihak bapak dan terus ke atas pertalian yang belum putus dari pihak bapak
5.      Saudara laki-laki seibu-sebapak
6.      Saudara laki-laki sebapak saja
7.      Saudara laki laki seibu saja
8.      Anak laki-laki dari saudara laki –laki seibu-sebapak
9.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja
10.  Saudara laki-laki bapak (paman) dari pihak bapak yang seibu sebapak
11.  Saudara lali-laki bapak yang sebapak saja
12.  Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki (paman) yang seibu-sebapak
13.  Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki (paman) yang sebapak saja
14.  Suami
15.  Laki-laki yang memerdekakan mayat
Jika 15 orang tersebut di atas semua ada maka yang mendapat harta pustaka dari mereka itu hanya 3 orang saja, yaitu:[3]
a.       Bapak
b.      Anak laki-laki
c.       Suami

b.      Golongan dari perempuan
1.      Anak perempuan
2.      Ibu
3.      Putri dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah
4.      Nenek yang shohih dan seterusnya keatas ( ibu dari ibu )
5.      Nenek yang shohih dan seterusnya keatas ( ibu dari ayah )
6.      Saudara perempuan se-ayah dan seibu
7.      Saudara perempuan se-ayah
8.      Saudara perempuan se-ibu
9.      Istri
10.  Perempuan yang memerdekakan si mayat
        Jika 10 orang tersebut di atas ada semuanya, maka yang dapat mewarisi dari mereka itu hanya 5 orang saja, yaitu:
a.       Istri
b.      Anak perempuan
c.       Anak perempuan dari anak laki-laki
d.      Ibu
e.       Saudara perempuan yang seibu-sebapak.
        Sekiranya 25 orang tersebut di atas dari pihak laki-laki dan dari pihak perempuan semua ada, maka yang tetap pasti mendapat hanya salah seorang dari dua laki-istri, ibu dan bapak, anak laki-laki dan anak perempuan. Keterangan alasan satu per satu satunya akan kita uraukan nanti dengan menerangkan nashib (bagian) satu per satunya. [4]
B.     Sumber hukum ilmu mawaris dan hukum mempelajarinya. Sumber hukum ilmu mawarits Ada Tiga, yaitu:
a.       Al-Quran
            Dalam Alquran telah di jelaskan mengenai ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum mawarits. Dalam surat An-nisa’: 7-12, 176, dan pada surah lainnya.
b.      Al-Hadits
            Dalam Riwayat imam Muslim dan Abu dawud bahwasanya Nabi Muhammad SAW, bersabda : “Bagilah harta pustaka antara ahli-ahli warits menurut ( ketentuan ) kitab Allah”.
c.       Ijma’ dan Ijtihad
            Para ulama berperandalam penyelesaian masalah-masalah yang berkaitan dengan mawarits. Adapun hukum mempelajari ilmu mawarits adalah Wajib ( fardhu kifayah ), yaitu apabila di suatu tempat ada salah seorang di antara mereka ada yang mempelajari, maka sudah di anggap terpenuhi kewajiban itu, tetapi jika tidak ada satu pun dari mereka mempelajarinya maka semua orang ikut berdosa.[5]
C.    Tujuan Ilmu Mawaris
a.       Agar dapat melaksanakan pembagian harta warisan kepada ahli warits yang berhak menerimanya sesuai dengan ketentuan syari’at Islam
b.      Agar dapat di ketahui secara jelas siapa orang yang berhak menerima harta warisan dan berapa bagian masing.
c.       Agar dapat menentukan bagian harta warisan secara adil dan benar sehingga tidak terjadi perselisihan.[6]
D.    Syarat Pewarisan
a.       Kematian
      Orang yang telah meninggal dunia dan mempunyai harta maka akan di wariskan harta peninggalannya. Karena sudah merupakan ketentuan hukumnya.
b.      Ahli waris harus masih hidup
      Ahli waris yang akan menerima harta warisan dari orang yang meninggal dunia harus masih hidup.[7]
E.     Rukun Pewarisan
a.       Muwaris
            Yaitu Orang yang meninggal dunia atau orang yang meninggalkan harta kepada orang-orang yang berhak menerimanya sesuai dengan syari’at Islam
b.      Waris
            Yaitu Orang yang berhak menerima harta peninggalan dari Muwarits karena sebab-sebab tertentu. Waris di sebut juga dengan Ahli Waris.
c.       Miras
            Yaitu harta yang di tinggalkan oleh muwaris yang akan di bagikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya (ahli waris). Miras itu bermacam-macam harta, misalnya tanah, rumah, uang, kendaraan, dan lain sebagainya.[8]
2.2 Sebab-Sebab Tidak Mendapat Pustaka
            Beberapa sebab yang menghalangi orang-orang mendapat pustaka dari keluarga mereka yang meninggal dunia:
1.      Hamba: seorang hamba tidak mendapat pusaka dari sekalian keluarganya yang meninggal dunia selama ia masaih bersifat hamba.
2.      Pembunuh: orang yang membunuh keluarganya tidak mendapat pusaka dari keluargnya yang di bunuhnya itu.
3.      Murtad: orang yang keluar dari agama islam tidak dapat yang masih tetap memeluk agama islam dan sebaliknya iapun tidak dipusakai oleh mereka yang masih beragama islam
4.      Orang yang tidak memeluk agama islam (kafir yang berupa apa pun kekafirannya) tidak berhak menerima pusaka dari keluarganya yang memeluk agama islam begitu juga sebaliknya orang islam tidkak pula berhak menerima pusaka dai keluarganya yang tidak memeluk agama islam[9]

2.3 Sebab-Sebab Menerima Harta Warisan
            Dalam Agama islam sebab-sebab menerima harta warisan, adalah sebagai berikut:
a.       Hubungan kekeluargaan
     Dalam hubungan kekeluargaan tidak membedakan antara ahli waris laki-laki dan perempuan, orang tua dan anak-anak, orang yang kuat dan lemah. Sesuai ketentuan yang berlaku semuanya harta warisan.
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT, Dalam Alquran surah An-nisa’ ayat 7
:
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
Artinya; Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
b.      Hubungan perkawinan
     Selama perkawinan masih utuh bisa menyebabkan adanya saling waris mewarisi. Akan tetapi, jika perkawinan sudah putus maka gugurlah saling waris mewarisi, kecuali istri dalam keadaan masa iddah pada talak raj’i.
c.       Hubungan wala’ (memerdekakan budak)
     Seseorang yang telah memerdekakan budak bisa menyebabkan memperoleh warisan. Jika budak yang di merdekakan itu meninggal dunia, maka orang yang memerdekakan itu berhak menerima warisan. Akan tetapi, jika orang yang memerdekakan itu meninggal dunia maka budak yang telah di merdekakan itu tidak berhak mendapatkan apa-apa.
d.      Hubungan Agama
     Apabila ada orang yang meninggal dunia tidak mempunyai ahli waris, baik dari hubungan kekeluargaan, perkawinan, wala’, maka harta warisannya itu di berikan kepada kaum muslimin, yaitu diserahkan ke baitul Mal untuk kemashlahatan umat islam.

2.4 Dzawil Furudh (Ashabul Furudh)
A.    Pengertian
     Adalah ahli waris yang mendapat bagian tertentu dalam keadaan tertentu, maksudnya ahli waris yang telah ditetapkan oleh syara’ memperoleh bagian tertentu dari furudul muqaddarah dalam pembagian harta peninggalan.
     Ashhabul furudh atau Dzaw Al-Furudh adalah golongan keluarga tertentu yang ditetapkan menerima bagian tertentu dalam keadaan tertentu. Kalangan fuqaha sependapat bahwa dzawrul al-furudh secara mutlak telah jelas bagian-bagiannya. Ketentun mengatur ahli waris terdapat dalam Alqur’an,Al-Hadis, Al-Ijma’, dan Ijtihad.
     Bagi umat islam, melaksanakan syari’at yang ditunjuk oleh nash-nash yang sharih adalah keharusan. Oleh sebab itu berdasarkan hukum waris islam bersifat wajib[10]. (Otje Salman dan Musthafa Haffas,2006:3)
B.     Pembagian warisan[11]
a.       Dari laki-laki yaitu: Anak laki-laki, Cucu laki-laki (dari anak laki-laki kebawah), Ayah, Kakek ke atas, Saudara laki-laki (seayah dan seibu), Paman, Suami, Orang laki-laki yan memerdekakan budak
b.      Dari perempuan yaitu : Anak perempuan, Ibu, Nenek ke atas, Saudara perempuan yang seayah se ibu, Istri, Perempuan yang emerdekaan budak
C.    Pembagian waris menurut Al-Qur’an
     Jumlah bagian yang ditentukan Al-Qur’an ada enam macam yaitu setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seper enam (1/6).
            Yang termasuk Ashbabul Furudh dengan bagian yang berhak ia terima yaitu:
a.       Ashhabul furudh yang berhak menerima setengah (Nishfu) harta
            Ashhabul furudh yang berhak menerima setengah dari harta waris peninggalan waris ada lima, satu golongan laki-laki dan empat lainnya perempuan. Kelima ashhabul furudh ialah suami, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah.[12]
Masing-masing ahli waris tersebut diikat oleh syarat-syarat berikut:
·         Seorang suami yang mendapatkan harta warisan seperdua dengan satu syarat, yaitu apabila muwarits tidak mempunyai ahli waris bunuriyah, baik dari suami tersebut atau dari suami yang lain.[13]
·         Seorang anak perempuan mendapat bagia setengah, dengan syarat, yaitu: Tidak mewarisi bersama dengan saudaranya yang mendapatkan ashabah     , yaitu anak laki-laki dan anak perempuan itu harus  anak tunggal perempuan itu harus  anak tunggal.
·         Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan mendapat setengah warisan dengan syarat, yaitu: (1) apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki (yakni cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki), (2) apabila hanya seorang (yakni anak perempuan dari keturunan anak laki-laki tersebut sebagai cucu tunggal),(3) apabila pewaris tidak mempunyai anak perempuan ataupun anak laki-laki.
·         Saudara kandung perempuan akan mendapat bagian setengah, dngan syarat: (1) ia tidak mempunyai saudara kandung lai-laki,(2) ia hanya seorang diri (tidak mempunyai saudara perempuan), (3) pewariis tidak mempunyai ayah / kakek, dan tidak pula mempunyai keturunan.
·         Saudara perempuan seayah akan mendapat bagian setengah, dengan syarat: (1)apabila ia tidak mendapat sudara laki-laki, (2)apabila ia hanya seorang diri, (3)pewaris tidak mempunyai saudara kandung perempuan, (4)pewaris tudak mempunyai ayah atau kakek, dan tidak pula anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan.
b.      Asshabul furudh yang berhak menerima seperempat (Rubu’)
            Rubu’(seperempat) adalah fardhu bagi dua orang waris, yaitu suami dan istri. Si suami berhak menerima seperempat jika ada anak sari istri yang meninggal itu, baik anak dari suami itu sendiri ataupun orang lain. Dan si istri mendapat seperempat apabila tidak ada anak dari suaminya yang meninggal.
c.       Ashhabul furudh yang berhak menerima seperdelapan (Tsumun)
            Tsumun (seperdelapan) adalah hak waris, yaitu istri apabila si suami yag meninggal, meninggalkan anak baik dari istri itu ataupun dari istri lain.
d.      Ashhabul furudh yang berhak menerima dua pertiga (Tsulutsani).
Yang berhak menerima dua per tiga yaitu:
·         Dua anak perempuan (kandung) atau lebih
·         Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki
·         Dua  saudara kandung perempuan (atau lebih)
·         Dua saudara perempuan seayah (atau lebih)
e.       Ashhabul furudh yang berhak menerima sepertiga (Tsuluts)
            Tsuluts (sepertiga) adalah fardhu yang ditetapkan untu dua orang waris, yaitu:
·         Ibu, dengan syarat orang yang meninggal itu tidak meninggalkan anak dan tidak pula meninggalkan beberapa saudara, baik saudara sekandung maupun seayah.
·         Dua orang saudara seibu, baik lelaki maupun perempuan, baik merek semuanya perempuan ataupun ada yang leleki dan ada yang perempuan. Dua orang saudara dan seterusnya seibu, mendapat sepertiga harta.
f.       Ashhabul furudh yang berhak menerima seperenam (Sudus)
·         Ayah, jika yang meninggal itu mempunyai anak.
·         Kakek sejati, jika yang meninggal itu, meninggalkan anak, tidak meninggalkan ayah.
·         Ibu, jika yang meninggal itu, meninggalkan anak atau dua orang dan seterusnya dari saudara-saudara lelaki dan saudara perempuan, baik sekandung atau seayah atau
·         Nenek sejati, jika tidak ada penghalang waris (ibu)
·         Seorang anak perempuan kandung.
·         Saudara perempuan seayah, seorang ataupun lebih bersama seorang saudara perempuan sekandung.
·         Seorang anak ibu (saudara ibu), baik leleki ataupun perempuan.[14]

2.5  Ashobah
A.    Pengertian
     Ahli waris ashobah adalah ahli waris yang tidak ditentuka bagiannya kadangkala mendapat bagian sisa (kalau ada ashhabul furudh), kadangkala tidak menerima sama sekali (jika tidak ada sisa), tetapi kadang-kadang menerima seluruh harta (kalau ada ashhabul furudh).
B.     Macam-macam Ashobah
a.       Ashobah bin nafsi
                        Yaitu kelompok ashobah dengan tanpa ditarik oleh waris ashoah yang lain atau tidak bersama-sama dengan ahli waris lain sudah menjadi ahli waris ashobah. Ashobah ini ada empat jihat yaitu:
·      Jihat Bunuwah (pertalian anak), yaitu anak laki-laki terus ke bawah.
·      Jihat Ubuwah (pertalian orang tua), yaitu ayah, kakek terus ke atas.
·      Jihat Ukhuwah (pertalian saudara), yaitu saudara laki-laki sekandung dan saudara laki-laki se-ayah terus ke bawah.
·      Jihat Umumah (pertalian paman), yaitu paman sekandung dan paman se-ayah, anak laki-laki paman sekandung dan se-ayah terus ke bawah.Untuk penetapan kewarisan ini, urutan yang paling atas didahulukan daripada urutan bawahnya, demikian seterusnya.
b.      Ashobah ’al ghairi
                        Yaitu kerabat perempuan yang memerlukan orang lain untuk menjadi “ashobah” dan untuk bersama-sama menerima ushubah,yang hanya terbatas pada ahli waris yang semuanya wanita yaitu:
·      Anak perempuan yang mewarisi bersama dengan anak laki-laki
·      Cucu perempuan yang mewarisi bersama cucu laki-laki
·      Saudara perempuan sekandung atau sebapak yang mewarisi bersama dengan saudara laki-laki sekandung atau sebapak.
·      Saudara perempuan seayah  
            Dengan demikian Ashobah maa’al ghairi tidak akan terwujud terkecuali dengan persyaratan berikut
Pertama,haruslah wanita yang tergolong ashhab al furudh. Bila wanita tersebut bukan dari ashhabul furudh, dia tidak akan menjadi ‘ashabah ma’al ghairi.
Kedua,laki-laki menjadi ‘ashabah (penganut) harus yang sederajat.
Ketiga,laki-laki yang menjadi penganut harus sama kuat denga ahli waris perempuan ashhabul furudh.
c.       Ashhabah ma’al ghairi
                        yaitu ahli waris yang menjadi ashabah karena bersama-sama dengan yang lain untuk menjadi ashobah. Misalnya saudari kandung atau seayah karena sama-sama putri. Asshobah ma’al ghairi  hanya terbatas pada dua golongan dari perempuan, yaitu:
·      Saudara perempuan sekandung atau saudara-saudara perempuan sekandung bersama dengan anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki.
·      Saudara perempuan seayah atau saudara-saudara perempuan seayah bersama dengan anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki, mereka mendapatkan sisa dari peninggalan sesudah furudh.(syayyid Sabiq, 1987:238)
            Jika seorang saudara perempuan sekandung menjadi ‘ashobah ma’al ghairi, ia menjadi seperti saudara laki-laki sekandung yang dapat menghijab hak waris saudara seayah , baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Selain itu, dapat pula menghijab hak waris orang-orang sesudahnya (yang lebih rendah derajatnya), seperti anak laki-laki dari saudara laki-laki, paman sekandung dan paman seayah. Begitu pula, saudara perempuan seayah jika menjadi ashobah ma’al ghairi ketika mewarisi bersama anak perempuan pewaris, kekutannya sama seperti saudara laki-laki seayah yang dapat menghijab keturunan saudaranya dan seterusnya.[15]

2.6    Dzawil Arham
A.    Pengertian          
     Dzawil Arham, ialah orang-orang yang secara hukum memiliki kekerabatan dengan orang yang meninggal, namun mereka bukanlah ahli waris.
      Secara istilah mereka bukanlah termasuk orang-orang mendapat bagian waris tertentu yang telah ditetapkan Al-Qur’an dan Hadits (ash-habul furud), dan juga tidak termasuk pada golongan an ashabah.
            Beberapa pendapat ulama mengenai masalah kewarisan dzawil arham antara lain :
Golongan pertama, orang yang menjadi keturunan si mati melalui jalur keturunan ke bawah, mereka itu adalah :
·         Cucu dari anak perempuan dan terus ke bawah, baik laki-laki atau perempuan.
·         Cicit dari cucu perempuan dari anak laki-laki dan terus ke bawah, baik laki-laki atau perempuan.
Golongan kedua, orang yang menjadi asal keturunan si mati (jalur keturunan ke atas). Mereka adalah:
·         Kakek yang tidak shahih (tidak langsung) terus ke atas, seperti ayahnya ibu dan kakeknya ibu.
·         Nenek yang tidak shahih (tidak langsung) terus ke atas, seperti ibu dari ayahnya ibu dan ibu dari ibunya ayah.
Golongan ketiga, orang yang dinasabkan kepada kedua orang tua si mati (kerabat jalur samping). Mereka adalah:
·         Anak-anak dari saudara perempuan sekandung/seayah/seibu, baik laki-laki atau perempuan.
·         Anak-anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung/seayah/seibu dan anak-anak keturunan mereka terus ke bawah.
·         Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, dan semua keturunannya seperti : cucu laki-laki dari anak laki-laki saudara seibu, atau cucu perempuan dari anak laki-laki saudara seibu.
Golongan keempat, orang yang dinasabkan kepada kedua kakek atau kedua nenek orang yang mati, baik dari jihat ayah atau jihat ibu. Mereka adalah:
·         Semua bibi dari pihak ayah orang yang mati (bibi sekandung/seayah/seibu), juga paman-paman dari pihak ibu si mayat, juga bibi dari pihak ibu si mayat dan semikian pula paman-pamannya ibu.
·         Anak-anak bibi dari pihak ibu, dan anak-anak paman dari pihak ibu, dan anak-anak paman ibu dari pihak bapaknya ibu, terus ke bawah.
·         Bibi ayah si mati dari pihak ayahnya, baik sekandung/seayah/seibu, paman-pamannya ibu dari bapaknya ibu, dan bibi-binya ibu dari bapaknya ibu, juga khal dari ibu dan khalah dari ibu, baik sekandung/seayah.
·         Anak-anak dari golongan tersebut (no. 3) dan terus ke bawah, seperti anak laki-laki dari bibinya ayah dan anak perempuan dari bibinya ayah, dan seterusnya.
·         Paman kakek mayit dari pihak ibu, paman nenek mayit dari pihak bapak, paman-paman dan bibi-bibi nenek dari pihak ibu dan bibinya kakek atau nenek dari pihak ibu.
        Anak-anak mereka (no. 5) terus ke bawah.

B.     Cara-cara kewarisan dzawil arham ini, rinciannya dianalogikan kepada jihat ashabah, yaitu:
     Mereka yang pertama kali memperoleh bagian adalah anak turunan (jihat bunuwah). Jika jihat ini tidak ada maka digantikan oleh orang tua si mati terus ke atas (jihat ubuwah). Bila tidak ada maka digantikan oleh jihat ukhuwah. Bila juga tidak ada barulah keturuna bibi dari ayah dan paman dari ibu (jihat umumah dan jhat khalah). Dan bila tidak ada maka baru kemudian anak-anak mereka dan orang-orang yang statusnya menggantikan mereka, seperti anak perempuan dari paman sekandung/seayah.
C.    Beberapa Syarat Kewarisan Dzawil Arham
     Harus tidak ada ashabul furud. Karena jika ada ashabul furud, maka ia mengambil bagiannya sebagai ashabul furud dan sisanya diambil dengan jalan rad.
     Harus tidak ada orang yang mendapatkan bagian ashabah. Tetapi, bila ahli warisnya itu hanya salah seorang suami atau isteri, maka salah satu dari keduanya mengambil bagiannya sebagai ashabul furud. Sedangkan sisanya diserahkan kepada dzawil arham, karena rad kepada salah seorang suami/isteri dilaksanakan setelah kewarisan dzawil arham.

2.7    Al- Hajb
A.    Macam-Macam Al-Hajb
Al-hajb terbagi dua, yaitu:
·         Al-hajb bil washfi (berdasarkan sifatnya)
   Al-hajb bil washfi berarti orang yang terkena hajb tersebut terhalang dari mendapatkan hak waris secara keseluruhan, misalnya orang yang membunuh pewarisnya, kafir atau murtad, serta budak. Maka hak waris untuk kelompok ini menjadi gugur atau terhalang. Al-hajb bil washfi di dalam kalangan ulama faraid dikenal pula dengan nama al-Hirman.
·         Al-hajb bi asy-syakhshi (karena orang lain)
   Sedangkan al-hajb bi asy-syakhshi yaitu gugurnya hak waris seseorang dikarenakan adanya orang lain yang lebih berhak untuk menerimanya. Al-hajb bi asy-syakhshi ini sendiri terbagi menjadi dua, yaitu:
1.      Hajb Hirman ( الحرمان ), yaitu penghalang yang menggugurkan seluruh hak waris seseorang. Misalnya, terhalangnya hak waris seorang kakek karena adanya ayah, terhalangnya hak waris cucu karena adanya anak, terhalangnya hak waris saudara seayah karena adanya saudara kandung, terhalangnya hak waris seorang nenek karena adanya ibu, dan seterusnya. Harap diperhatikan bahwa hajb hirman tidak sama dengan al-Hirman (Al-hajb bil washfi) sebagaimana yang saya sebutkan diatas, kendatipun namanya sama.
2.      Hajb Nuqshan ( النقصان ), yaitu penghalangan terhadap hak waris seseorang untuk mendapatkan bagian yang terbanyak. Contohnya:
·         Suami terhalang mendapatkan bagian warisan, dari setengah (1/2) menjadi seperempat (1/4), karena adanya keturunan istri yang dapat mewarisi, baik keturunan tersebut dihasilkan dari perkawinannya dengan suami tersebut maupun dari suaminya yang terdahulu.
·         Istri terhalang mendapatkan bagian warisan, dari seperempat (1/4) menjadi seperdelapan (1/8) karena adanya keturunan suami yang dapat mewarisi, baik keturunan tersebut dihasilkan dari perkawinannya dengan istri tersebut maupun dengan istri-istrinya yang lain.
·         Ibu, ia terhalang mendapatkan bagian warisan, dari sepertiga (1/3) menjadi seperenam (1/6) karena adanya keturunan yang dapat mewarisi dan karena sebab berkumpulnya beberapa (dua orang atau lebih) saudara laki-laki atau saudara perempuan, baik saudara sekandung, seayah maupun seibu.
·         Seorang cucu perempuan dari anak laki-laki terhalang dari mendapatkan bagian sebesar setengah (1/2) menjadi seperenam (1/6) karena adanya seorang anak perempuan kandung atau karena adanya cucu perempuan dari anak laki-laki lainnya yang lebih tinggi derajatnya, jika ia bukan anak perempuan kandung.
·         Saudara perempuan seayah terhalang dari mendapatkan setengah (1/2) menjadi seperenam (1/6) karena adanya seorang saudara perempuan sekandung.
            Satu hal yang perlu diperhatikan adalah, dalam dunia faraid, apabila kata al-hajb disebutkan tanpa diikuti kata lainnya, maka yang dimaksud adalah hajb hirman.














BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
     Fiqih Mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa-siapa yang tidak berhak mnerima, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya, dan bagaimana cara penghitungannya.
     Al-Faraidh dalam bahasa Arab adalah bentuk plural dari kat tunggal Faradha, yang berakar kata dari huruf-huruf fa, ra, dan dha. Dan tercatat 14 kali dalam Al-Quran, dalam berbagai konteks kata. Karena itu, kata tersebut mengandung beberapa makna dasar, yakni suatu ketentuan untuk maskawin, menurunkan Al-Quran, penjelasan, penghalalan, ketetapan yang diwajibkan, ketetapan yang pasti, dan bahkan di lain ayat ia mengandung makna tidak tua.
     Bahwa sisa harta warisan baik setelah ahli waris mendapatkan begiannya maupun karena tidak ada ahli waris, tidak boleh diselesaikan dengan jalan Radd maupun diserahkan kepada Dzawil Arham, tetapi harus diserahkan ke baitul Mal untuk kepentingan umat islam.
3.2 Saran
     Mungkin inilah yang diwacanakan pada penulisan makalah ini meskipun penulisan ini jauh dari sempurna minimal kita mengimplementasikan tulisan ini. Masih banyak kesalahan dari penulisan makalah ini, karna kami manusia yang adalah tempat salah dan dosa: dalam hadits “al insanu minal khotto’ wannisa’, dan kami juga butuh saran/ kritikan agar bisa menjadi motivasi untuk masa depan yang lebih baik daripada masa sebelumnya.



[1] Drs. H. Moh. Muhibbin,2009. “hukum kewarisan islam”, sinar grafika. Hal: 5
[2]H. Sulaiman Rasyid, 2000. “Fiqih Islam” Jakarta. Hlm 372
[3] H. Sulaiman Rasyid, 2000. “Fiqih Islam” Jakarta. Hlm 376
[4] Ibid
[5] http://hanajadeh.blogspot.com/2012/09/ashabah-yang-memperoleh-sisa-harta.html
[6] Ibid
[7] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Al-Waaarits Fisy Syarii’ati; Islaamiyyah ‘Alaa Dhau’ al-Kitaab was Sunnah(Jakarta:Gema Insani, 1995),hlm.47-48
[8] Ibid,
[9] H. Sulaiman Rasyid, 2000. “Fiqih Islam” Jakarta. Hlm 376
[10] Drs.Beni Ahmad Saebani,M.Si, Fiqih Mawaris cet 1(Bandung:Pustaka Setia,2009),hlm.135-136
[11] Bahasa Ahmad Sunarto, Kitab Fathul Ghorib Jilid 2 (Surabaya:Al-Hidayah,1992),hlm 3-4
[12] ] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Al-Waaarits Fisy Syarii’ati; Islaamiyyah ‘Alaa Dhau’ al-Kitaab was Sunnah(Jakarta:Gema Insani, 1995),hlm.46
[13] Ibid.,142
[14] Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Fiqih Mawaris,(Semarang:PT Pustaka Rizki Putra,2012)hlm.58
[15]  http://hanajadeh.blogspot.com/2012/09/ashabah-yang-memperoleh-sisa-harta.html