BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam kajian Islam kontemporer, nama Nasr Hamid
Abu Zaid tentu sangat popular dan familiar. Pemikir yang cukup fenomenal ini
berasal dari Mesir, namun dia menemukan eksistensinya di Leiden-Belanda.
Gagasan-gagasannya senantiasa menjadi perbincangan di kalangan pengkaji
ilmu-ilmu keIslaman (Islamisist), khususnya dalam kajian ilmu-ilmu al-Qur’an.
Sebagian kalangan menganggap pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid ini menyimpang dari
nilai luhur ajaran Islam (melecehkan Islam). Biasanya yang termasuk kelompok
ini adalah para pemikir yang “konservatif”. Di pihak lain, ada kelompok yang
mendukung atau sejalan dengan pemikiran-pemikirannya. Kelompok ini biasanya
berasal dari kelompok pemikir Muslim “liberal-reformis”.
Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid yang paling
kontroversial adalah pandangannya yang menyatakan bahwa “Al-Qur’an adalah
produk budaya”. Konon karena pemikirannya ini, menyebabkan dia divonis “murtad” oleh Mahkamah Agung Mesir dan
dijatuhi hukuman harus menceraikan istrinya. Namun, ia terlepas dari tuntutan
hukuman tersebut karena melarikan diri ke Belanda. Nah, di sanalah ia
mendapatkan tempat untuk terus mengembangkan gagasan-gagasannya.
Metodologi/pembacaan baru terhadap
al-Qur’an. Hal ini bisa dikatakan sebagai sebuah upaya merekonstruksi metode
ulama-ulama terdahulu yang cenderung atomistis kepada sebuah pengkajian yang
lebih menyeluruh (holistic of method). Hal ini dimaksudkan untuk melahirkan
sebuah penafsiran yang tentunya sesuai dengan semangat zaman. Atau dengan kata
lain bahwa hal yang dilakukan oleh Nasr Hamid adalah sebuah upaya
kontekstualisasi pesanpesan al-Qur’an. Upaya kontekstualisasi dimaksudkan untuk
bagaimana penafsiran itu tidak semata-mata berpegang pada makna lahiriah teks
(literal), melainkan menekankan pada dimensi konteks yang menyertainya,
terutama nilai-nilai substantif teks meminjam istilah Fazlur Rahman, ideal
moral, dan Nasr Hamid menggunakan istilah maghza (Signifikansi) yang bermuara
pada kepentingan maslahat manusia dalam situasi dan kondisi yang berubah.
Sebagai akademisi patut kiranya kita
mengkaji lebih mendalam tentang pemikiran-pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid.
Sehingga kita tidak terjebak atau mengikuti tanpa dasar dalam menolak ataupun
menerima pemikiran-pemikirannya. Yang menjadi stressing dari pembahasan ini
adalah bagaimana metodologi yang digunakan oleh Nasr Hamid untuk memproduksi
gagasan-gagasannya dan apa produk-produk dari pemikirannya, letak kekuatan dan
kelemahannya, serta pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran Islam. Namun
pada bagian awal, penulis mengupas terlebih dahulu riwayat hidup dan latar
belakang pemikirannya. Ini penting guna mengetahui kapabilitas seorang Nasr Hamid
terkait dengan kajian yang digelutinya, karena itu makalah ini akan mengkaji
lebih jauh tentang bagaimana paradigma dan prinsip-prinsip penafsiran Nasr Hamid
Abu Zayd.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
biografi intelektual Nasr hamid abu zaid
2.
Apa
saja karya–karya nasr hamid abu zaid
3.
Bagai
mana teori hermeneutika Nasr hamid abu zaid
4.
Bagaimana
pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid terkait dengan penafsiran teks keagamaan ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Nasr Hamid Abu Zaid
Nasr Hamid Abu Zaid adalah seorang tokoh
controversial di abad 21, beliau juga di sebut dengan pemikir modernis Mesir
yang sangat dikenal oleh para pemerhati perkembangan pemikiran Islam. Beliau
bernama lengkap Nasr Hamid Abu Zayd, lahir di Quhafa 120 km dari Kairo, dekat
tanta Mesir pada tanggal 10 jule 1943. Saat usianya 8 tahun beliau sudah
mengahafal 30 juz al-Quran, kerena selain kecerdasan yang dia miliki dia juga
di dukung oleh keluarganya, karena latar belakang keluarga yang taat beragama
maka sejak kecillah seorang Nasr Hamid Abu Zaid ini di ajarkan tentang agama
Islam, itulah kenapa dia dari kecil sudah di katakan qori dan hafidz, serta
sudah mampu menceritakan isi al-quran. (Nasr Hamid Abu Zaid. 2003: 201)
Pendidikan
tingginya, mulai S1, S2, dan S3 dalam jurusan Bahasa dan Sastra Arab
diselesaikannya di Universitas Kairo. Pada 1978-1980 ia pernah tinggal di
Amerika karena memperoleh beasiswa untuk penelitian doktornya di Institue of
Middle Eastern Studies, dan di University of Pensylvania, Philadelphia, USA. (Hery sucipto. 2003: 34)
Pada
1992, ia menikah dengan Dr. Ibtihal Yunis pada saat usianya menginjak 49 tahun.
Pada tahun tersebut pula, dengan karyanya Naqd Al Khittab Al Dinny dimulai
kasusnya di persidangan karena karyanya dianggap menodai al-Qur’an, sehingga ia
divonis murtad dan harus menceraikan istrinya pada 1995. (Hery sucipto. 2003: 34)
Pada 23 Juli 1995, Abu Zaid dan Istrinya
hengkang dari Mesir ke Belanda. Ia dihormati sebagai ilmuawan besar dalam studi
al-Qur’an, dan dianugerahi gelar professor di bidang bahasa Arab dan studi
Islam dari Leiden University, Amsterdam Selatan. Ia menduduki “kursi Ibnu
Rusyd” dalam bidang kemanusiaan dan Islam di Unversitas Utrecth, Belanda. Pada
2005, ia menerima “The Ibnu Rusyd Prize for Freedom of Thought”, Berlin, sebuah
penghargaan atas usahanya mengampanyekan kebenasan berpikir di Mesir. (Henri
Shalahuddin. 2007: 05).
Nasr Hamid
Abu Zayd merupakan ilmuan muslim yang sangat produktif,ia menulis lebih dari
dua puluh Sembilan (29) karya sejka tahun 1964 smapai 1999, baik berbentuk
buku, maupun artikel. Ada Sembilan karyanya yang penting dan sudah
dipublikasikan, yaitu: Thr al-Quran: God ‘and Man in Communication (Laiden,
2000), Al-Khaitab wa al Ta’wil (Dar el-Beidah, 2000), Dawair al Kawf Qira’ah fi
al khitah al-mar’ah (Dar el-Beidah, 1999), al-nass, al-Sultah, al Haqiqah:
al-Fikr a; diniy bayma irdaat al-Ma’rifah wa Iradat al-Haymanah (Cairo, 1995),
At-Tafkir fi Zaman al-Tafkir: Dida al-lahi wa al-Zayf wa al Khurafah (cairo,
1995), Naqd al- Khitab al-Diniy (Cairo, 1994), Mafhum al Nash: Dirasah fi Ulum
Alquran (cairo, 1994), Filsafat al-Ta’wil: Dirasah di al-Ta’wil al-Qur’an ‘ind
Muhyi al-Din ibbn Arabiyah (Beirut, 1993), Al-Ittijah al-‘Aqli fi al-Tafsir:
Dirasah Qaqiyyat al-Majaz fi al-Quran (Beirut, 1982), (Henri Shalahuddin. 2007:
05).
Begitu
banyak pandangannya tentang Islam yang memancing reaksi keras dari kalangan
ulama-ulama muslim (konservatif fundamentalis). Pandangannya dianggap jauh
melenceng dari prinsip-prinsip ajaran Islam. Karena itu, bagi sebagian ulama
mesir menganggap Nasr Hamid sudah keluar dari Islam/kafir. (Nasr Hamid Abu Zaid.
2003: 201)
Pemikirannya banyak dianut dan juga ditentang
di negaranya sendiri. Bagi media Barat, dia dianggap sebagai hero bagi
tumbuhnya kebebasan berpikir, sedangkan bagi Negara asalnya dia diputuskan
kafir oleh Mahkamah. Dia menderita penganiayan relijius yang serius dikarenakan
pandangannya terhadap al-Qur’an sebagai karya sastra mistik. (Nasr Hamid Abu Zaid.
2003: 201)
Namun,
bagi kalangan akademisi (baik insider dan outsider) Nasr Hamid dianggap sebagai
ulama revolusioner/pembaharu dalam pemikiran Islam terkhusus dalam Qur’anic
Studies. Nasr Hamid mencoba untuk menawarkan sebuah metodologi/pembacaan baru
terhadap al-Qur’an. Hal ini bisa dikatakan sebagai sebuah upaya merekonstruksi
metode ulama-ulama terdahulu yang cenderung atomistis kepada sebuah pengkajian
yang lebih menyeluruh (holistic of method). Hal ini dimaksudkan untuk
melahirkan sebuah penafsiran yang tentunya sesuai dengan semangat zaman, karena
al-Qur’an bersifat s}a>lih}un
li kulli zama>n wa maka>n. atau dengan kata lain bahwa hal yang dilakukan
oleh Nasr Hamid adalah sebuah upaya kontekstualisasi pesan-pesan al-Qur’an.
Upaya kontekstualisasi dimaksudkan untuk bagaimana penafsiran itu tidak
semata-mata berpegang pada makna lahiriah teks (literal), melainkan menekankan
pada dimensi konteks yang menyertainya, terutama nilai-nilai substantif teks
meminjam istilah Fazlur Rahman, ideal moral, dan Nasr Hamid menggunakan istilah
maghza (Signifikansi) yang bermuara pada kepentingan maslahat manusia dalam
situasi dan kondisi yang berubah. (Nasr Hamid Abu Zayd. 1994: 27).
Pemikir
kontroversional Mesir dan Profesor Studi
Arab ini meninggal pada hari senin pagi 5 juli 2010, di sebuah rumah sakit Kairo
akibat seragam virus yang dijelaskan oleh para dokter sebagai penyakit yang
“jarang dan langka”. (Nasr Hamid Abu Zayd. 1994: 27).
B.
Teori Hermeneutika Nasr Hamid abu Zaid
Menurut
Nasr Hamid abu Zaid pada hakekatnya al-Qur’an adalah produk dari peradaban
teks, dalam karyanya Mafhumun Nash dengan pendekatan semiotika dan
hermeneutika, dia menilai bahwa produk kultural atau biasa disebut almuntaj
asstaqafi dalam istilah Arab, al-qur’an sebanding dengan hasil peradaban
manusia yang dapat berubah dan ditafsiri sekontektual mungkin sejalan dengan
arus perkembngan zaman, karena al-quran ketika diwahyukan dalam konteks
masyarakat Arab jahiliyah kala itu menurutnya (Zaid). maka tafsir dalam rangka
menghidupkan kembali nilai-nilai al-qur’an, sehingga ummat Islam sekarang harus
mentafsirkan dan merekontruksi ulang gagasan kitab suci itu secara cerdas dan
sesuai dengan semangat zaman kini.( Nasr Hamid Abu Zaid.
2003: 215-216).
Al-qur’an
diturunkan tidak lepas dari kondisi sosio cultural masyarakat Arab kala
itu, sehingga memperlakukannya (alqur-an) pada saat ini tidak seperti pada masa
lalu .dia menyayangkan karena ada beberapa kalangan ulama’ yang dia sitir
sebagai sedemikian rupa telah membakukan sedemikian rupa Nash al-qur’an, sehingga
misi ajarannya kurang mengena dan mengikuti semangat zaman. Ada pula ulama’
(kata Zaid) yang telah mendikotommikan al-quran dengan realitas sosial,
sehingga ketika ummat Islam berhadapan dengan nash seakan–akan ada tembok
pemisah antara teks yang sacral disatu sisi dan ummat Islam itu sendiri sebagai
objek, sehingga untuk mengahiri problem ini dia menawarkan gagsan ummat Islam
harus mampu dan berani menafsirkan Islam (al-qur’an dan sunnah) secara cerdas dengan
mempertimbangkan aspek sosial zamannya bukan pada metode kalasik yang hanya
memfokuskan pada asapek sosio cultural ketika al-qur’an diturunkan.
Karenan sebenarnya kemunduran manusia Islam sekarang antara lain disebabkan
oleh pemahaman manusia terhadap al-qur’an yang terlalu tekstual. ( Nasr Hamid Abu Zaid. 2003: 215-216).
Manusia
sering diidentifikasi sebagai animal Syimbolicum dalam arti perbedaan
asasi manusia dengan hewan terletak pada pemakaian dan pemahaman mausia
terhadap simbul-simbul dalam kehidupannya. Hampir setiap bidang kehidupannya,
mausia tidak lepas darinya dari pemakai simbol-simbol, baik yang bersifat
verbal, fisikal maupun yang berbentuk peristiwa atau realitas tertentu.
Akibatnya, dalam berbagai aspek kehidupannya manusia dituntut untuk bisa
memahami dam menafsirkan simbol-simbol. Membahas
mengenai simbol dan pemahamannya pada dasarnya membicarakan mengenai pemaknaan
dan cara mengungkap makna, yang akhirnya lahir beragam teori dan metode
pemahaman yang merupakan titik tolak perkembangan peradaban ilmiyah manusia,
dan diantara salah satu teori dan metode untuk menyingkap makna pada dasarnya
adalah hermanutika.
1.
Pengertia Hermaneutik
Secara
etimologis kata hermanautika berasal dari bahasa yunani hermaneuin yang berarti
“Menafsirkan” (Hilman Latief. 2003: 27), dan dari kata hermanuin dapat ditarik
kata benda hermenea yang berarti “Penapsiran” atau interpretasi (Fahruddin
Faiz. 2007: 18) Dalam pengartian yang lain hermanutic adalah sebuah kata benda,
dimana dalam kata ini mengandung tiga arti diantaranya:
a.
Ilmu penafsiran.
b.
Ilmu untuk mengetahui maksud yang terkandung
dalam kata-kata dan ungkapan penulis.
c.
Penafsiran yang secara khusus menunjuk kepada
penafsiran kitab suci.
Oleh
karena itu, hermaneutik pada akhirnya diartikan sebagai proses mengubah sesuatu
atau sesuatu ketidak tahuan menjadi mengerti dan problema dasar yang di teliti
hermaneutika adalah masalah penafsiran teks secara umum, baik berupa teks histories
maupun teks keagamaan. (Fahruddin Faiz. 2007: 18)
2.
Teori Nasr Abu Zaid
Teori
Nasr Abu Zaid saat beliau mengembangkan tentang tingkatan- tingktan konteks,
yaitu terdiri dari tiga teori, penjelasan Teori Nasr Abu Zaid
a.
Teori kontek sosio cultural
Teori
kontek sosio cultural telaah Nasr abu Zaid terhadap konteks disini terbatas
kepada teks yang bersifat kebahasaan maksudnya kedukan teks bahasa secara umum
karena apabila dispefikasi tentunya banyak sekali macam dan ragam jenis teks
seperti syair, cerita dan sebagainya ,pun dengan teks keagamaan yang memiliki
karakter sebagai teks kemanusiaan dan keduniaan serta bersifat sosiokultural
kebahasaan .menurutnya apa yang disampaikan nabi Muhammad Saw. Adalah berupa
teks yang berupa bahasa Arab, sehingga telaah yang diarahkan terhadap tingkatan
konteks secara umum terhadapteks kebahasaan bertujuan untuk mengungkap
tingkatan konteks al-qur’an secara lebih spesifik. Sedang yang dimaksuk kontek
cultural pada teks-teks kebahasaan adalah setiap parkara yang melalui otoritas
epistimologisnya memungkinkan terjadinya interksi yang bersifat kebahasaan.
Bahasa merupakan kumpulan aksioma tradisi masyarakat yang mulai dari tingkatan
akustik dan berahir pada tingkat signifikansi atau pemaknaan karena aksioma
tersebut digunkan dalam kerangka kebudayaan yang lebih luas ,menurut Nasr abu Zaid
ketika proses interksi berlangsung antara penutur dan penerima tidaklah cukup
hanya mengetahui kaidah- kaidah bahasa untuk menjamin suksesnya proses
interaksi , lebih dari itu antara keduanya mesti ada ksemacam kerangka berpikir
yang menggambarkan bahwa masing-masing bisa saling memhami dan saling
berehubungan rujukan epistimologis yang dimaksud disinin adalah kebudayan
dengan segala aspeknya termasuk kebiasaan dan tradisi-tradisinya, yang itu terelihat
dalam bahasa dan aturan–aturannya .
b.
Teori Kontek Narasi
Teori
kontek narasi ialah berusaha menyingkap makna yang tersembunyi dalam suatu
wacana .dan makna yang tersembunyi itu tidak sebagaimana yang di pahami para
ulama’ fiqih dengan indikasi signifikan atau gramatika wacana tetapi diartikan
oleh Nasr Hamid abu Zaid sebagai lefel yang lebih luas yang menyingkap konteks
yang berkaitan dengan beberapa factor ekstern berbarengan makna konteks narasi
yang tersebutkan. (Fahruddin Faiz. 2007: 18)
c.
Teori Kontek Pembacaan. (Hilman Latief. 2003:
31)
Teori
Kontek Pembacaan Menurut Nasr Hamid abu Zaid konteks pembacaan merupakan bagian
dari keseluruhan system konteks, dan merupakan bagian dari stuktur teks, akan tetapi
pembacaan itu sediri terbentuk sebagai stuktur tersendiri dari tingkatan
pembacaan dan dia membaginya pada dua hal. (1) kondisi pembaca itu sendiri dan
(2) beragamnya pembacaan, yang muncul disebabkan perbedaan pada aspek pemikiran
dan ediologi. Tentunya interpretasi sangat tergantung dengan temporalitas sang
pembaca atau penafsir. Problem lain yang terdapat dalam konteks pembacaan ini
adalah sang pembaca harus melakukan trasformasi wacana dari suatu fase
peradaban tertentu kepada peradaban yang lain, juga melakukan sutu transformasi
makna dari bahasa yang asli kepada bahasa lain.
Bagian dari teori Abu Nasr yang lain: (Hilman
Latief. 2003: 31)
a.
Pemahaman gramatikal terhadap beberapa bentuk
karakter ekspresi dan bentuk liguestik dari kebudayaan dimana pengarang itu
hidup
b.
Pemahaman psikologis yang menelaah
subjektifitas dan kecerdasasn
c.
Sang pengarang itu sendidir.
C.
Teori al-Quran Nasr Hamid: al-Quran adalah
produk budaya
Dalam
menerapkan teori hermeuneutika dalam mengkaji al-Quran, Nasr Hamid menggunakan
metode analisis teks bahasa sastra (nahj tahlil al-nusus al-lughawiyyah
al-adabiyyah) atau Metodologi kritik sastra (literary criticism) (Henri Shalhuddin. 2007: 9) Dalam pandangannya
metode tersebut merupakan satu-satunya
metode untuk mengkaji Islam, Nasr Hamid menyatakan:
“Oleh sebab itu, metode analisis bahasa
merupakan satu-satunya metode manusiawi yang mungkin untuk mengkaji pesan (risalah),
dan berarti memahami Islam.” (Nasr Hamid Abu Zayd. 1994: 27)
Dengan
Metode kritik ini Nasr Hamid berpendapat bahwa al-Quran walaupun ia merupakan
kalam ilahi, namun al-Quran menggunakan bahasa manusia. Karena itu al-Quran
tidak lebih dari teks-teks karangan manusia. Nasr Hamid mulai mengenal
teori-teori hermeneutika ketika berada di Universitas Pennsylvania,
Philadelphia pada tahun 1978-1980. Dalam artikelnya di harian Republika
(30/9/2004) Dr. Syamsudin Arif mencatat, bahwa Nasr Hamid memang terpesona
dengan hermeuneutika, sebagaimana ia ungkap dalam biografinya yang ia beri
judul Voice of an Exile: Reflections on Islam. Dalam bukunya tersebut Abu Zaid
mengakui bahwa hermeneutika telah membuka cakrawala dunia baru kepadanya. Ia
menyatakan:
I did a lot of reading on my own, especially in
the fields of philosophy and hermeneutics. Hermeneutics, the science
ofinterpreting texts, opened up a brandnew world for me.
Artinya:
“Aku banyak membaca sendiri, khususnya di dalam
bidang filsafat dan hermeneutika. Hermeneutika, ilmu menafsirkan teks-teks,
telah membuka cakrawala dunia baru kepadaku.”
Setelah
akrab dengan literatur hermeuneutika Barat, Nasr Hamid kemudian membahas
mengenai hakikat teks, yang merupakan persoalan mendasar dalam hermeuneutika,
di antara masalah yang ia dengungkan adalah anggapannya bahwa teks-teks agama
adalah teks-teks bahasa yang bentuknya sama dengan teks-teks yang lain di dalam
budaya atau konsep al-Quran sebagai produk budaya (Muntaj Tsaqafi) dan
memposisikan Nabi Muhammad ` sebagai “pengarang al-Quran”. Untuk menerapkan
konsep Muntaj Tsaqafi-nya, Nasr Hamid mendekonstruksi konsep al-Quran yang
telah disepakati oleh umat Islam selama berbad-abad; yaitu konsep bahwa
al-Quran adalah ‘kalamullah’ yang lafadz dan maknanya dari Allah I. Namun,
kajian Nasr Hamid tersebut lebih mirip kepada Biblical Critism (kritik teks
Bible) yang telah berkembang dalam tradisi Kristen, dari pada konsep
kemakhlukan al-Quran-nya Muktazilah, Kaum Mu’tazilah memposisikan Al Qur’an
sebagai kalam Allah I meskipun kalam Allah I itu di anggap sebagai makhluq yang
diciptakan oleh Allah I sebagaimana Allah I menciptakan makhluq lain. Jadi kaum
Mu’tazilah berpendapat bahwa Al Qur’an itu adalah tidak Qadim. Tapi Mu’tazilah
sama sekali tidak berpendapat bahwa Al Qur’an adalah karya Muhammad sebagai
produk budaya dan harapan orang-orang yang ada di sekitarnya seperti yang di
kemukakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd. Maka salah jika ada yang berpendapat bahwa
pemikiran Nasr Hamid berasal dari tradisi Islam. (Adian Husaini dan Abdurrahman
al-Baghdadi. 2007: 36-38).
Setelah
itu, kalangan pemuka dan cendekiawan Kristen mulai mengarahkan studi mereka
terhadap al-Quran, sehingga mereka menempatkan posisi al-Quran sama dengan
posisi Bible. Studi Biblical Critism terhadap al-Quran ini mulai muncul sejak
abad ke-19. Di antara sarjana Barat, orientalis dan Islamolog Barat yang
menerapkan metode ini adalah; Abraham Geiger, Gustav Weil, William Muir,
Theodor Noldeke, W. Montgomery Watt, Kenneth Cragg, John Wansbrough, dan yang
masih hidup seperti Andrew Rippin, Christoph Luxenberg, Daniel A. Madigan,
Haraid Motzki dan masih banyak lagi lainnya (Adnin Armas. 2005: 36)
Orientalis
yang termasuk pelopor awal dalam menggunakan Biblical critism ke dalam
Al-Qur’an adalah Abraham Geiger (m. 1874), seorang Rabbi sekaligus pendiri
Yahudi Liberal di Jerman. Pada tahun 1833, Geiger menulis Was hat Mohammed aus
dem Judenthume aufgenommen? (Apa yang telah Muhammad Pinjam dari Yahudi?). Di
dalam karyanya tersebut, ia mengkaji AI-Qur’an dari konteks ajaran-ajaran
Yahudi. Ia melihat sumber-sumber Al-Qur’an dapat dilacak di dalam agama Yahudi.
Setelah
itu, berbodong-bondonglah para orientalis melakukan kajian kritis terhadap teks
al-Quran, sebagaimana pada Bible, mereka menyamakan al-Quran dan Bible sebagai
sebuah teks saja. Gerd R. Joseph Puin, seorang Orientalis pengkaji al-Quran
telah menyarankan perlunya studi ke`sejarahan al-Quran, ia mengatakan:
“Begitu banyak kaum muslimin beranggapan bahwa
al-Quran merupakan kata-kata Tuhan yang tidak pernah mengalami perubahan”. Dan ia juga mengatakan: “Mereka (para
cedekiawan) sengaja mengutip karya naskah yang menunjukkan bahwa Bible memiliki
sejarah dan tidak langsung turun dari langit, namun sampai sekarang al-Quran
masih berada di luar konteks pembicaraan ini. Satu-satunya cara menggempur
dinding penghalang ini adalah mengadakan pembuktian bahwa al-Quran memiliki
sejarah”.
Pendapat
Nasr Hamid bahwa al-Quran adalah ‘produk budaya’ adalah problematik. Kapan
al-Quran menjadi produk budaya? Jika al-Quran menjadi produk budaya ketika
wahyu selesai, maka dalam rentang waktu wahyu pertama turun hingga wahyu
selesai, al-Quran berada dalam keadaan pasif karena ia produk budaya Arab
Jahiliyah. Namun, ini pendapat salah, karena ketika diturunkan secara
berangsur-angsur al-Quran ditentang dan menentang budaya Arab Jahiliyah saat
itu. Jadi, al-Quran bukanlah produk budaya, karena al-Quran bukanlah hasil
kesinambungan dari budaya yang ada. Al-Quran justru membawa budaya baru dengan
mengubah budaya yang ada.
Menurut
Prof. Naquib al-Attas, bahasa Arab al-Quran adalah bahasa Arab bentuk baru.
Sejumlah kosa-kata pada saat itu, telah di-Islam-kan maknanya. Al-Quran mengislamkan dan membentuk
makna-makna baru dalam kosa kata bahasa Arab. Kata-kata penghormatan
(muruwwah), kemuliaan (karamah), dan persaudaraan (ikhwah), misalnya, sudah ada
sebelum Islam.
Tapi,
kata-kata itu di Islamkan dan diberi makna baru, yang berbeda dengan makna
zaman jahiliyah. Kata ‘karamah’, misalnya, yang sebelumnya bermakna ‘memiliki
banyak anak, harta, dan karakter tertentu yang merefleksikan kelelakian’,
diubah al-Quran dengan memperkenalkan unsur ketakwaan (taqwa). Contoh lain,
juga pada ‘ikhwah’, yang berkonotasi kekuatan dan kesombongan kesukuan. Diubah
maknanya oleh al-Quran, dengan memperkenalkan gagasan persaudaraan yang
dibangun atas dasar keimanan, yang lebih tinggi daripada persaudaraan darah.
D.
Nabi Muhammad ` sebagai pengarang al-Quran
Studi
Nasr Hamid selanjutnya adalah analisa terhadap corak sebuah teks yang dengan
hal itu dapat diketahui kondisi pengarang teks tersebut. Pendapat Nasr Hamid
ini ia adopsi dari tokoh hermeneutika modern, Frederich Schleirmacher yang
merumuskan teori hermeuneutikanya berdasarkan pada analisa terhadap pengertian
tata bahasa dan kondisi (sosial, budaya dan kejiwaan) pengarangnya.
Karen
Armstrong telah meresume pandangan Schleirmacher terhadap Bibel sebagai
berikut: Bahwa Bibel adalah sangat penting bagi kehidupan kaum Kristen, karena
ia adalah satu−satunya sumber informasi tentang Yesus. Tapi, karena
penulis−penulis Bibel terkondisi dalam lingkungan sejarah dimana mereka hidup,
maka adalah sah−sah saja untuk mengkritisi dengan cermat karya mereka.
Schleirmacher
mengakui bahwa kehidupan Yesus adalah wahyu suci, tetapi para penulis Bibel
adalah manusia biasa yang bisa salah dan bisa terjebak dalam dosa. Karena
itulah, mereka mungkin saja berbuat kesalahan. Karena itulah, menurut
Schleirmacher, tugas para sarjana Bibel adalah membuang aspek−aspek kultural
dari Bibel dan menemukanintisarinya yang bersifat abadi. Tidak setiap kata
dalam Bibel adalah otoritatif, karena itu, kata Schleirmacher, seorang penafsir
harus mampu membedakan mana ide−ide yang marginal dan ide inti dalam Bibel. (Adian Husaini. 6/6/2010)
Dari
sini kita dapat dengan mudah mengetahui pengaruh penafsiran kaum Liberal Yahudi
dan Kristen terhadap Nasr Hamid. Setelah itu Nasr Hamid tampil cerdik, dengan
menempatkan Nabi Muhammad ` sebagai penerima wahyu pada posisi semacam
“pengarang al-Quran”, dia menulis dalam bukunya Mafhum al-Nash:
“Bahwa
al-Quran yang diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada seorang Muhammad yang
manusia. Bahwa, Muhammad, sebagai penerima pertama, sekaligus penyampai teks
adalah bagian dari realitas dan masyarakat. Ia adalah buah dan produk dari
masyarakatnya. Ia tumbuh dan berkembang di Makkah sebagai anak yatim, dididik
dalam suku Bani Sa’ad sebagaimana anak-anak sebayanya di perkampungan Badui.
Dengan demikian, membahas Muhammad sebagai penerima teks pertama, berarti tidak
membicarakannya sebagai penerima pasif. Membicarakan dia berarti membicarakan
seorang manusia yang dalam dirinya terdapat harapan-harapan masyarakat yang
terkait dengannya. Intinya, Muhammad adalah bagian dari sosial budaya dan
sejarah masyarakatnya”.
Pendapat
Nasr Hamid Abu Zayd ini merusak konsep
dasar Al Qur’an yang dianut sebagian besar umat Islam, bahwasanya Muhammad
hanyalah sebagai penyampai wahyu saja, beliau tidak merubah sedikitpun yang
diterimanya dari Allah I. Beliau pun Ma’shum artinya terjaga dari kesalahan. Al
Qur’an menyebutkan yang artinya:
“Dan Dia (Muhammad) tidak menyampaikan sesuatu,
kecuali (dari) wahyu yang di wahyukan kepadanya”. (QS. Al Najm:3)
Dengan
menyebut al-Quran sebagai cultural product dan menempatkan posisi Nabi Muhammad
` sebagai pengarang al-Quran, maka Nasr Hamid telah melepaskan posisi al-Quran
sebagai kalamullah yang suci dan menghilangkan sakralitas al-Quran dan
menjadikan al-Quran hanya teks manusiawi atau hasil pengalaman individual yang
diperoleh nabi Muhamamad ` dalam waktu dan tempat tertentu yang latar belakang
sejarah sangat mewarnai pemikirannya.
Dalam
buku terbitan PT Gramedia yang ditulis oleh tiga personel Islam Liberal yaitu
Abd Moqsith Ghazali, Luthfi Assyaukanie, dan Ulil Abshar Abdalla yang berjudul
“Metodologi Studi al-Quran” disebutkan secara jelas tentang penolakan mereka
terhadap pemahaman dan keyakinan umat
Islam bahwa al-Quran adalah kalamullah. Kaum Liberal menganggap bahwa al-Quran
adalah kata-kata Muhammad `, ditulis dalam buku tersebut:
“Muhammad bukan sebuah disket, melainkan orang
yang cerdas, maka tatkala menerima wahyu, Muhammad ikut aktif memahami dan
kemudian mengungkapkannya dalam bahasa Arabnya sendiri. Karena itu, menurut Nasr
Hamid Abu Zaid tidak bertentangan jika dikatakan bahwa al-Quran adalah wahyu
Tuhan dengan teks Muhammad (Muhammadan text).”
Menurut
Dawam Raharjo, perbedaan pandangan terhadap konsep al-Quran apakah kalamullah
atau kata-kata Muhammad merupakan perbedaan utama antara metode Tafsir klasik
dengan metode Hermeuneutika, ia mengatakan: “Metode Hermeuneutika ini berbeda
dengan penekanan tafsir al-Quran tradisional yang bertolak dari kepercayaan
bahwa al-Quran itu adalah kalam ilahi.
Dalam pengertian itu, Tuhan tidak dipandang sebagai pengarang, sebagaimana
manusia yang mengarang puisi atau prosa. Dalam menafsirkan al-Quran, para
penafsir tidak melihat latarbelakang social Tuhan yang memengaruhi perkataan
Tuhan. Sedangkan dalam hermeuneutika, penafsir teks berusaha memahami teks dengan
mempelajari pengarangnya, bahkan pembacanya, ketika teks itu diciptakan atau
ditafsirkan kemudian.”
Ia juga menyatakan: “Disinilah perlunya metode
hermeuneutika, yang mencoba memahami teks berikut dengan mempelajari konteks,
sehingga para penafsir bisa menemukan esensi makna suatu ayat yang mungkin saja
keliru sebagaimana pernah diwacamakan oleh Muhamamad Abduh.” (Nasr Hamid Abu
Zaid. 1997: 59)
Pendapat-pendapat Nasr Hamid juga banyak
diikuti oleh IAIN, banyak dosen dan mahasiswa UIN yang secara terang-terangan
mengusung pendapat Nasr Hamid, seperti seorang dosen di IAIN Surabaya bernama
Suhalwi Ruba, dihadapan mahasiswanya ia menuliskan lafal Allah I pada secarik
kertas sebesar telapak tangan dan menginjaknya dengan sepatu, sambil
mengatakan: “al-Quran dipandang sakral secara substansi,tapi tulisannya tidak
sakral”. Menurut Suhalwi, al-Quran sebagai kalam Allah I adalah makhluk
ciptaan-Nya, sedangkan al-Quran sebagai mushaf adalah budaya karena bahasa
Arab, huruf hijaiyah dan kertas merupakan hasil cipta manusia. Teori Nasr Abu Zaid
E.
Analisis kritis
Perkembangan
studi metodologi tafsir al- Qur’an yang pesat sebenarnya pada masa saat ini
akan tumbuh karya tafsir dan metodologi tafsir dengan cirri khas, cita rasa
model analisis dan perspektif yang cukup beragam dengan nuansanya sendiri-
sendiri. Namun hingga kini gaya penulisan dan komentar al-Qur’an hamper tidak
mengalami perubahan yang substansial, dengan tuntutan teoritiknya agar memiliki
relevansi dengan kontek kekinian. Setidaknya didalam menafsirkan al-Qur’an
berpeganng teguh pada tiga prinsip intetrelasi; Pertama; Interpretasi al-Qur’an
dengan sudut pandang “ ilmiyah Rasinal”. Paling dekat dengan perspektif ini
adalah interpretasi al-Qur’an dengan al-Qur’an yang sering digunakan sebagai
pengapkiran terhadap seluruh keterkaitan secara material sebuah tradisi dalam
bentuk laporan-laporan hadis dan komentar- komentar paling awal; Kedua;
Selanjutnya menjaga kelayakan suatu interpretasi agar al- qur’an terbebas dari
legenda-legenda bawaan, pikiran-pikieran primitive, cerita-cerita yang tidak
masuyk akal, cerita fiktif dan tahyyul, Rasionalisasi doktrin, seperti tentang
teori penciptaan yang dipaparkan dan dijustifikasikan dengan cara merujuk
al-Qur’an.
Kontek
interelasi diatas umumnya dapat ditemukan dalam komentar-komentar moderen yang
mencoba memperhatikan kandungan spiritual al-Qur’an serta petunjuk-petunjuknya.
Pendekatan- pendekatan ini digunakan umpamanya oleh beberapa modernis.Dan
pendekatan yang dilakukan oleh para modernes Muslim, termasuk didalamnya
pendekatan yang dilakukan oleh Nasr Abu Zaid dalam memahami al-Qur’an.
Hermeneutik
dalam studi ini adalah mencoba berbicara pada tingkatan “ memahami“ dalam
padanan translation, exegesis, commentary maupun interpretation di suatu sisi,
juga dalam lingkup yang lebih luas, yakni mendivinisikan haskekat tek di sisi
lain. Walaupun tidak ada perbedan secara etimologis antara herminautika dan
pebnafsiran, tetapi dalam perjalanan sejarah keduanya dibedakan dalam tatanan
teologis. Hermenautika menunjuk padsa tujuan, prinsip, dan treteria dari
praktek. Dengan kata lain, hermenautik adalah seni interpretasi. Ia dapat
berfungsi sebagai teori interprtasi, kajian filosofis, dan dapat pula berposisi
sebagai kritik. Sedangkan penafsiran biasanya di sejajarkan dengan praktek
penafsiran belaka.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
beberapa urain diatas maka pemakalah menyimpulkan bahwa didalam studi
hermaneutika Nasr Hamid Abu Zaid ini mencoba berbicara pada tinggkat pemahaman
dalam padanan transilation exegesis, comentari maupun interpretation di suatu sisi
, juga ruaglingkupnya yang lebih luas yaitu pendifinisian tentang hakekat teks
di sisi lain. Secara etimologis hermaneutika menunjuk kepada tujuan, prinsip
dan kreteria dari praktek tersebut, dengan ucapan lain hermaneutika adalah seni
interpretasi yang dapat berfungsi sebagai teori interpretasi , kajian filosofis
dan berposisi sebagai kritik.
Teks
al-Qur’an menurut Abu Zaid memiliki dimensi ilahiah dan manusiawi. Ketika
al-Qur’an masih berupa kalamullah murni, nilai sakralitas al-Qur’an tidak perlu
diragukan lagi. Namun, ketika al-Qur’an diwahyukan kepada Muhammad yang dengan
segala budaya dan tradisinya dan menggunakan bahasa Arab, maka ketika itu
al-Qur’an memasuki wilayah kesejarahan manusia dengan memakai struktur tata
bahasa dan budaya Arab. Dalam hal ini, teks berubah dari wahyu menjadi sebuah
pemahaman dan penafsiran.
Abu
Zaid menegaskan bahwa teks-teks agama adalah teks-teks linguistik. Sehingga
teks-teks tersebut dapat diteliti dan dikaji dengan ilmu-ilmu linguistik. Dalam
pembacaan teks dia berangkat dari analisis linguistik. Selain itu, agar dapat
memahami pesan-pesan al-Qur’an maka dibutuhkan pembacaan produktif terhadap
teks dengan menggunakan teori hermeneutika untuk menggali makna dan menemukan
signifikansi.
Pembacaan
Abu Zaid Terhadap teks al-Qur’an lebih cenderung kepada model kritik terhadap
penafsiran dan wacana yang berkembang di dunia Islam. Seperti diungkapkan pada
pembahasan bagaimana ia memahami ayat waris yang kebenyakan orang hanya
berhenti pada aspek makna dan tidak bergerak pada aspek signifikansi.
Menurutnya, sikap wacana agama yang berhenti pada makna-makna saja, berujung
dengan menarik mundur realitas sekaligus membekukan teks. Bagaimanapun, usaha
pembacaan teks yang dilakukan Abu Zaid memberikan warna tersendiri dalam khazanah
keilmuan Islam dalam bidang tafsir. Terlepas dari pemikirannya yang berani,
yang melawan arus dari mainstream, beliau mampu menggugah para
generasi-generasi Islam dan memaksanya untuk melihat, menganalisis, dan
mengkritisi pemahaman-pemahaman lama yang dipandang telah final dan selesai.
Daftar
Pustaka
Adnin Armas. 2005. Metodologi Bible Dalam Studi Al-Quran. Jakarta:
Gema Insani.
Adian Husaini. 2007. Ma Dan Abdurrahman
Al-Baghdadi, Hermeuneutika
Dan Tafsir Al-Quran. Jakarta: Gema Insani Press.
Adian Husaini, Murid−Murid
Nasr Hamid Abu Zayd Di Indonesia, Http://Newsgroups.Derkeiler.Com/Archive/Soc/Soc.Culture.In donesia, Diakses 6/6/2010
Fahruddin Faiz. 2007. Hermaneutika Qur’ani
Antara Teks, Konteks, Dan Kontektualisasi. Yogyakarta: Qalam.
Hery Sucipto. 2003. Ensiklopedi Tokoh Islam Dari Abu Bakr Hingga
Nasr Dan Qardhawi. Jakarta: Pt
Mizan Publika .
Henri Shalahuddin. 2007. Al-Qur’an Dihujat. Jakarta:
Al-Qalam.
Hilman Latief. 2003. Nasr Hamid Abu Zaid
Kritik Teks Keagamaan. Yogya Karta: El Saq Press.
Nasr Hamid Abu Zayd. 1994. Mafhum Al-Nas: Dirasah Fi ‘Ulum Ai-Qur’an. Beirut:
Al-Markaz Al-Thaqafi Al-‘Arabi.
Nasr Hamid Abu Zaid. 2003. Kritik Wacana Agama. Yogyakarta:
Lkis
Nasr Hamid Abu Zaid. 1997. Mafhum
Al-Nash. Beirut: Al-Markaz Al-Tsaqafi Al-Arabi.
Merkur 3rd Chance Merkur 4th-Elevator - DACCASINO.COM
BalasHapusMerkur 3rd Chance septcasino Merkur Double 바카라 Edge deccasino Safety Razor, Chrome · Merkur 3-Piece Double-Edge Safety Razor, Chrome · Merkur Double Edge
MGM Resorts Casino & Hotel - Mapyro
BalasHapusMGM Resorts 과천 출장샵 Casino & 삼척 출장안마 Hotel in Las Vegas offers 3 세종특별자치 출장마사지 hotel towers with a total of 2,748 오산 출장마사지 spacious hotel rooms. Each has a 파주 출장마사지 total of 2,817 suites and is