Jumat, 02 Februari 2018

pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid (PPMDI)

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
     Dalam kajian Islam kontemporer, nama Nasr Hamid Abu Zaid tentu sangat popular dan familiar. Pemikir yang cukup fenomenal ini berasal dari Mesir, namun dia menemukan eksistensinya di Leiden-Belanda. Gagasan-gagasannya senantiasa menjadi perbincangan di kalangan pengkaji ilmu-ilmu keIslaman (Islamisist), khususnya dalam kajian ilmu-ilmu al-Qur’an. Sebagian kalangan menganggap pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid ini menyimpang dari nilai luhur ajaran Islam (melecehkan Islam). Biasanya yang termasuk kelompok ini adalah para pemikir yang “konservatif”. Di pihak lain, ada kelompok yang mendukung atau sejalan dengan pemikiran-pemikirannya. Kelompok ini biasanya berasal dari kelompok pemikir Muslim “liberal-reformis”.
     Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid yang paling kontroversial adalah pandangannya yang menyatakan bahwa “Al-Qur’an adalah produk budaya”. Konon karena pemikirannya ini, menyebabkan dia divonis  “murtad” oleh Mahkamah Agung Mesir dan dijatuhi hukuman harus menceraikan istrinya. Namun, ia terlepas dari tuntutan hukuman tersebut karena melarikan diri ke Belanda. Nah, di sanalah ia mendapatkan tempat untuk terus mengembangkan gagasan-gagasannya.
     Metodologi/pembacaan baru terhadap al-Qur’an. Hal ini bisa dikatakan sebagai sebuah upaya merekonstruksi metode ulama-ulama terdahulu yang cenderung atomistis kepada sebuah pengkajian yang lebih menyeluruh (holistic of method). Hal ini dimaksudkan untuk melahirkan sebuah penafsiran yang tentunya sesuai dengan semangat zaman. Atau dengan kata lain bahwa hal yang dilakukan oleh Nasr Hamid adalah sebuah upaya kontekstualisasi pesanpesan al-Qur’an. Upaya kontekstualisasi dimaksudkan untuk bagaimana penafsiran itu tidak semata-mata berpegang pada makna lahiriah teks (literal), melainkan menekankan pada dimensi konteks yang menyertainya, terutama nilai-nilai substantif teks meminjam istilah Fazlur Rahman, ideal moral, dan Nasr Hamid menggunakan istilah maghza (Signifikansi) yang bermuara pada kepentingan maslahat manusia dalam situasi dan kondisi yang berubah.
     Sebagai akademisi patut kiranya kita mengkaji lebih mendalam tentang pemikiran-pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid. Sehingga kita tidak terjebak atau mengikuti tanpa dasar dalam menolak ataupun menerima pemikiran-pemikirannya. Yang menjadi stressing dari pembahasan ini adalah bagaimana metodologi yang digunakan oleh Nasr Hamid untuk memproduksi gagasan-gagasannya dan apa produk-produk dari pemikirannya, letak kekuatan dan kelemahannya, serta pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran Islam. Namun pada bagian awal, penulis mengupas terlebih dahulu riwayat hidup dan latar belakang pemikirannya. Ini penting guna mengetahui kapabilitas seorang Nasr Hamid terkait dengan kajian yang digelutinya, karena itu makalah ini akan mengkaji lebih jauh tentang bagaimana paradigma dan prinsip-prinsip penafsiran Nasr Hamid Abu Zayd.
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi intelektual Nasr hamid abu zaid
2.      Apa saja karya–karya nasr hamid abu zaid
3.      Bagai mana teori hermeneutika Nasr hamid abu zaid
4.      Bagaimana pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid terkait dengan penafsiran teks keagamaan ?











BAB II
PEMBAHASAN
A.      Biografi Nasr Hamid Abu Zaid
     Nasr Hamid Abu Zaid adalah seorang tokoh controversial di abad 21, beliau juga di sebut dengan pemikir modernis Mesir yang sangat dikenal oleh para pemerhati perkembangan pemikiran Islam. Beliau bernama lengkap Nasr Hamid Abu Zayd, lahir di Quhafa 120 km dari Kairo, dekat tanta Mesir pada tanggal 10 jule 1943. Saat usianya 8 tahun beliau sudah mengahafal 30 juz al-Quran, kerena selain kecerdasan yang dia miliki dia juga di dukung oleh keluarganya, karena latar belakang keluarga yang taat beragama maka sejak kecillah seorang Nasr Hamid Abu Zaid ini di ajarkan tentang agama Islam, itulah kenapa dia dari kecil sudah di katakan qori dan hafidz, serta sudah mampu menceritakan isi al-quran. (Nasr Hamid Abu Zaid. 2003: 201)
     Pendidikan tingginya, mulai S1, S2, dan S3 dalam jurusan Bahasa dan Sastra Arab diselesaikannya di Universitas Kairo. Pada 1978-1980 ia pernah tinggal di Amerika karena memperoleh beasiswa untuk penelitian doktornya di Institue of Middle Eastern Studies, dan di University of Pensylvania, Philadelphia, USA. (Hery sucipto. 2003: 34)
     Pada 1992, ia menikah dengan Dr. Ibtihal Yunis pada saat usianya menginjak 49 tahun. Pada tahun tersebut pula, dengan karyanya Naqd Al Khittab Al Dinny dimulai kasusnya di persidangan karena karyanya dianggap menodai al-Qur’an, sehingga ia divonis murtad dan harus menceraikan istrinya pada 1995. (Hery sucipto. 2003: 34)
Pada 23 Juli 1995, Abu Zaid dan Istrinya hengkang dari Mesir ke Belanda. Ia dihormati sebagai ilmuawan besar dalam studi al-Qur’an, dan dianugerahi gelar professor di bidang bahasa Arab dan studi Islam dari Leiden University, Amsterdam Selatan. Ia menduduki “kursi Ibnu Rusyd” dalam bidang kemanusiaan dan Islam di Unversitas Utrecth, Belanda. Pada 2005, ia menerima “The Ibnu Rusyd Prize for Freedom of Thought”, Berlin, sebuah penghargaan atas usahanya mengampanyekan kebenasan berpikir di Mesir. (Henri Shalahuddin. 2007: 05).
     Nasr Hamid Abu Zayd merupakan ilmuan muslim yang sangat produktif,ia menulis lebih dari dua puluh Sembilan (29) karya sejka tahun 1964 smapai 1999, baik berbentuk buku, maupun artikel. Ada Sembilan karyanya yang penting dan sudah dipublikasikan, yaitu: Thr al-Quran: God ‘and Man in Communication (Laiden, 2000), Al-Khaitab wa al Ta’wil (Dar el-Beidah, 2000), Dawair al Kawf Qira’ah fi al khitah al-mar’ah (Dar el-Beidah, 1999), al-nass, al-Sultah, al Haqiqah: al-Fikr a; diniy bayma irdaat al-Ma’rifah wa Iradat al-Haymanah (Cairo, 1995), At-Tafkir fi Zaman al-Tafkir: Dida al-lahi wa al-Zayf wa al Khurafah (cairo, 1995), Naqd al- Khitab al-Diniy (Cairo, 1994), Mafhum al Nash: Dirasah fi Ulum Alquran (cairo, 1994), Filsafat al-Ta’wil: Dirasah di al-Ta’wil al-Qur’an ‘ind Muhyi al-Din ibbn Arabiyah (Beirut, 1993), Al-Ittijah al-‘Aqli fi al-Tafsir: Dirasah Qaqiyyat al-Majaz fi al-Quran (Beirut, 1982), (Henri Shalahuddin. 2007: 05).
     Begitu banyak pandangannya tentang Islam yang memancing reaksi keras dari kalangan ulama-ulama muslim (konservatif fundamentalis). Pandangannya dianggap jauh melenceng dari prinsip-prinsip ajaran Islam. Karena itu, bagi sebagian ulama mesir menganggap Nasr Hamid sudah keluar dari Islam/kafir. (Nasr Hamid Abu Zaid. 2003: 201)
      Pemikirannya banyak dianut dan juga ditentang di negaranya sendiri. Bagi media Barat, dia dianggap sebagai hero bagi tumbuhnya kebebasan berpikir, sedangkan bagi Negara asalnya dia diputuskan kafir oleh Mahkamah. Dia menderita penganiayan relijius yang serius dikarenakan pandangannya terhadap al-Qur’an sebagai karya sastra mistik. (Nasr Hamid Abu Zaid. 2003: 201)
     Namun, bagi kalangan akademisi (baik insider dan outsider) Nasr Hamid dianggap sebagai ulama revolusioner/pembaharu dalam pemikiran Islam terkhusus dalam Qur’anic Studies. Nasr Hamid mencoba untuk menawarkan sebuah metodologi/pembacaan baru terhadap al-Qur’an. Hal ini bisa dikatakan sebagai sebuah upaya merekonstruksi metode ulama-ulama terdahulu yang cenderung atomistis kepada sebuah pengkajian yang lebih menyeluruh (holistic of method). Hal ini dimaksudkan untuk melahirkan sebuah penafsiran yang tentunya sesuai dengan semangat zaman, karena al-Qur’an bersifat s}a>lih}un li kulli zama>n wa maka>n. atau dengan kata lain bahwa hal yang dilakukan oleh Nasr Hamid adalah sebuah upaya kontekstualisasi pesan-pesan al-Qur’an. Upaya kontekstualisasi dimaksudkan untuk bagaimana penafsiran itu tidak semata-mata berpegang pada makna lahiriah teks (literal), melainkan menekankan pada dimensi konteks yang menyertainya, terutama nilai-nilai substantif teks meminjam istilah Fazlur Rahman, ideal moral, dan Nasr Hamid menggunakan istilah maghza (Signifikansi) yang bermuara pada kepentingan maslahat manusia dalam situasi dan kondisi yang berubah. (Nasr Hamid Abu Zayd. 1994: 27).
     Pemikir kontroversional Mesir  dan Profesor Studi Arab ini meninggal pada hari senin pagi 5 juli 2010, di sebuah rumah sakit Kairo akibat seragam virus yang dijelaskan oleh para dokter sebagai penyakit yang “jarang dan langka”. (Nasr Hamid Abu Zayd. 1994: 27).

B.       Teori Hermeneutika Nasr Hamid abu Zaid
     Menurut Nasr Hamid abu Zaid pada hakekatnya al-Qur’an adalah produk dari peradaban teks, dalam karyanya Mafhumun Nash dengan pendekatan semiotika dan hermeneutika, dia menilai bahwa produk kultural atau biasa disebut almuntaj asstaqafi dalam istilah Arab, al-qur’an sebanding dengan hasil peradaban manusia yang dapat berubah dan ditafsiri sekontektual mungkin sejalan dengan arus perkembngan zaman, karena al-quran ketika diwahyukan dalam konteks masyarakat Arab jahiliyah kala itu menurutnya (Zaid). maka tafsir dalam rangka menghidupkan kembali nilai-nilai al-qur’an, sehingga ummat Islam sekarang harus mentafsirkan dan merekontruksi ulang gagasan kitab suci itu secara cerdas dan sesuai dengan semangat zaman kini.( Nasr Hamid Abu Zaid. 2003: 215-216).
     Al-qur’an diturunkan tidak lepas dari kondisi sosio cultural masyarakat Arab kala itu, sehingga memperlakukannya (alqur-an) pada saat ini tidak seperti pada masa lalu .dia menyayangkan karena ada beberapa kalangan ulama’ yang dia sitir sebagai sedemikian rupa telah membakukan sedemikian rupa Nash al-qur’an, sehingga misi ajarannya kurang mengena dan mengikuti semangat zaman. Ada pula ulama’ (kata Zaid) yang telah mendikotommikan al-quran dengan realitas sosial, sehingga ketika ummat Islam berhadapan dengan nash seakan–akan ada tembok pemisah antara teks yang sacral disatu sisi dan ummat Islam itu sendiri sebagai objek, sehingga untuk mengahiri problem ini dia menawarkan gagsan ummat Islam harus mampu dan berani menafsirkan Islam (al-qur’an dan sunnah) secara cerdas dengan mempertimbangkan aspek sosial zamannya bukan pada metode kalasik yang hanya memfokuskan pada asapek sosio cultural ketika al-qur’an diturunkan. Karenan sebenarnya kemunduran manusia Islam sekarang antara lain disebabkan oleh pemahaman manusia terhadap al-qur’an yang terlalu tekstual. ( Nasr Hamid Abu Zaid. 2003: 215-216).
     Manusia sering diidentifikasi sebagai animal Syimbolicum dalam arti perbedaan asasi manusia dengan hewan terletak pada pemakaian dan pemahaman mausia terhadap simbul-simbul dalam kehidupannya. Hampir setiap bidang kehidupannya, mausia tidak lepas darinya dari pemakai simbol-simbol, baik yang bersifat verbal, fisikal maupun yang berbentuk peristiwa atau realitas tertentu. Akibatnya, dalam berbagai aspek kehidupannya manusia dituntut untuk bisa memahami dam menafsirkan simbol-simbol.          Membahas mengenai simbol dan pemahamannya pada dasarnya membicarakan mengenai pemaknaan dan cara mengungkap makna, yang akhirnya lahir beragam teori dan metode pemahaman yang merupakan titik tolak perkembangan peradaban ilmiyah manusia, dan diantara salah satu teori dan metode untuk menyingkap makna pada dasarnya adalah hermanutika.
1.      Pengertia Hermaneutik
           Secara etimologis kata hermanautika berasal dari bahasa yunani hermaneuin yang berarti “Menafsirkan” (Hilman Latief. 2003: 27), dan dari kata hermanuin dapat ditarik kata benda hermenea yang berarti “Penapsiran” atau interpretasi (Fahruddin Faiz. 2007: 18) Dalam pengartian yang lain hermanutic adalah sebuah kata benda, dimana dalam kata ini mengandung tiga arti diantaranya:
a.       Ilmu penafsiran.
b.      Ilmu untuk mengetahui maksud yang terkandung dalam kata-kata dan ungkapan penulis.
c.       Penafsiran yang secara khusus menunjuk kepada penafsiran kitab suci.
          Oleh karena itu, hermaneutik pada akhirnya diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau sesuatu ketidak tahuan menjadi mengerti dan problema dasar yang di teliti hermaneutika adalah masalah penafsiran teks secara umum, baik berupa teks histories maupun teks keagamaan. (Fahruddin Faiz. 2007: 18)
2.      Teori Nasr Abu Zaid
           Teori Nasr Abu Zaid saat beliau mengembangkan tentang tingkatan- tingktan konteks, yaitu terdiri dari tiga teori, penjelasan Teori Nasr Abu Zaid
a.       Teori kontek sosio cultural
     Teori kontek sosio cultural telaah Nasr abu Zaid terhadap konteks disini terbatas kepada teks yang bersifat kebahasaan maksudnya kedukan teks bahasa secara umum karena apabila dispefikasi tentunya banyak sekali macam dan ragam jenis teks seperti syair, cerita dan sebagainya ,pun dengan teks keagamaan yang memiliki karakter sebagai teks kemanusiaan dan keduniaan serta bersifat sosiokultural kebahasaan .menurutnya apa yang disampaikan nabi Muhammad Saw. Adalah berupa teks yang berupa bahasa Arab, sehingga telaah yang diarahkan terhadap tingkatan konteks secara umum terhadapteks kebahasaan bertujuan untuk mengungkap tingkatan konteks al-qur’an secara lebih spesifik. Sedang yang dimaksuk kontek cultural pada teks-teks kebahasaan adalah setiap parkara yang melalui otoritas epistimologisnya memungkinkan terjadinya interksi yang bersifat kebahasaan. Bahasa merupakan kumpulan aksioma tradisi masyarakat yang mulai dari tingkatan akustik dan berahir pada tingkat signifikansi atau pemaknaan karena aksioma tersebut digunkan dalam kerangka kebudayaan yang lebih luas ,menurut Nasr abu Zaid ketika proses interksi berlangsung antara penutur dan penerima tidaklah cukup hanya mengetahui kaidah- kaidah bahasa untuk menjamin suksesnya proses interaksi , lebih dari itu antara keduanya mesti ada ksemacam kerangka berpikir yang menggambarkan bahwa masing-masing bisa saling memhami dan saling berehubungan rujukan epistimologis yang dimaksud disinin adalah kebudayan dengan segala aspeknya termasuk kebiasaan dan tradisi-tradisinya, yang itu terelihat dalam bahasa dan aturan–aturannya .
b.      Teori Kontek Narasi
     Teori kontek narasi ialah berusaha menyingkap makna yang tersembunyi dalam suatu wacana .dan makna yang tersembunyi itu tidak sebagaimana yang di pahami para ulama’ fiqih dengan indikasi signifikan atau gramatika wacana tetapi diartikan oleh Nasr Hamid abu Zaid sebagai lefel yang lebih luas yang menyingkap konteks yang berkaitan dengan beberapa factor ekstern berbarengan makna konteks narasi yang tersebutkan. (Fahruddin Faiz. 2007: 18)
c.       Teori Kontek Pembacaan. (Hilman Latief. 2003: 31)
    Teori Kontek Pembacaan Menurut Nasr Hamid abu Zaid konteks pembacaan merupakan bagian dari keseluruhan system konteks, dan merupakan bagian dari stuktur teks, akan tetapi pembacaan itu sediri terbentuk sebagai stuktur tersendiri dari tingkatan pembacaan dan dia membaginya pada dua hal. (1) kondisi pembaca itu sendiri dan (2) beragamnya pembacaan, yang muncul disebabkan perbedaan pada aspek pemikiran dan ediologi. Tentunya interpretasi sangat tergantung dengan temporalitas sang pembaca atau penafsir. Problem lain yang terdapat dalam konteks pembacaan ini adalah sang pembaca harus melakukan trasformasi wacana dari suatu fase peradaban tertentu kepada peradaban yang lain, juga melakukan sutu transformasi makna dari bahasa yang asli kepada bahasa lain.
Bagian dari teori Abu Nasr yang lain: (Hilman Latief. 2003: 31)
a.       Pemahaman gramatikal terhadap beberapa bentuk karakter ekspresi dan bentuk liguestik dari kebudayaan dimana pengarang itu hidup
b.      Pemahaman psikologis yang menelaah subjektifitas dan kecerdasasn
c.       Sang pengarang itu sendidir.
C.       Teori al-Quran Nasr Hamid: al-Quran adalah produk budaya
     Dalam menerapkan teori hermeuneutika dalam mengkaji al-Quran, Nasr Hamid menggunakan metode analisis teks bahasa sastra (nahj tahlil al-nusus al-lughawiyyah al-adabiyyah) atau Metodologi kritik sastra (literary criticism) (Henri Shalhuddin. 2007: 9) Dalam pandangannya metode tersebut merupakan  satu-satunya metode untuk mengkaji Islam, Nasr Hamid menyatakan:
“Oleh sebab itu, metode analisis bahasa merupakan satu-satunya metode manusiawi yang mungkin untuk mengkaji pesan (risalah), dan berarti memahami Islam.” (Nasr Hamid Abu Zayd. 1994: 27)
     Dengan Metode kritik ini Nasr Hamid berpendapat bahwa al-Quran walaupun ia merupakan kalam ilahi, namun al-Quran menggunakan bahasa manusia. Karena itu al-Quran tidak lebih dari teks-teks karangan manusia. Nasr Hamid mulai mengenal teori-teori hermeneutika ketika berada di Universitas Pennsylvania, Philadelphia pada tahun 1978-1980. Dalam artikelnya di harian Republika (30/9/2004) Dr. Syamsudin Arif mencatat, bahwa Nasr Hamid memang terpesona dengan hermeuneutika, sebagaimana ia ungkap dalam biografinya yang ia beri judul Voice of an Exile: Reflections on Islam. Dalam bukunya tersebut Abu Zaid mengakui bahwa hermeneutika telah membuka cakrawala dunia baru kepadanya. Ia menyatakan:
I did a lot of reading on my own, especially in the fields of philosophy and hermeneutics. Hermeneutics, the science ofinterpreting texts, opened up a brandnew world for me.
Artinya:
“Aku banyak membaca sendiri, khususnya di dalam bidang filsafat dan hermeneutika. Hermeneutika, ilmu menafsirkan teks-teks, telah membuka cakrawala dunia baru kepadaku.”
     Setelah akrab dengan literatur hermeuneutika Barat, Nasr Hamid kemudian membahas mengenai hakikat teks, yang merupakan persoalan mendasar dalam hermeuneutika, di antara masalah yang ia dengungkan adalah anggapannya bahwa teks-teks agama adalah teks-teks bahasa yang bentuknya sama dengan teks-teks yang lain di dalam budaya atau konsep al-Quran sebagai produk budaya (Muntaj Tsaqafi) dan memposisikan Nabi Muhammad ` sebagai “pengarang al-Quran”. Untuk menerapkan konsep Muntaj Tsaqafi-nya, Nasr Hamid mendekonstruksi konsep al-Quran yang telah disepakati oleh umat Islam selama berbad-abad; yaitu konsep bahwa al-Quran adalah ‘kalamullah’ yang lafadz dan maknanya dari Allah I. Namun, kajian Nasr Hamid tersebut lebih mirip kepada Biblical Critism (kritik teks Bible) yang telah berkembang dalam tradisi Kristen, dari pada konsep kemakhlukan al-Quran-nya Muktazilah, Kaum Mu’tazilah memposisikan Al Qur’an sebagai kalam Allah I meskipun kalam Allah I itu di anggap sebagai makhluq yang diciptakan oleh Allah I sebagaimana Allah I menciptakan makhluq lain. Jadi kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Al Qur’an itu adalah tidak Qadim. Tapi Mu’tazilah sama sekali tidak berpendapat bahwa Al Qur’an adalah karya Muhammad sebagai produk budaya dan harapan orang-orang yang ada di sekitarnya seperti yang di kemukakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd. Maka salah jika ada yang berpendapat bahwa pemikiran Nasr Hamid berasal dari tradisi Islam. (Adian Husaini dan Abdurrahman al-Baghdadi. 2007: 36-38).
     Setelah itu, kalangan pemuka dan cendekiawan Kristen mulai mengarahkan studi mereka terhadap al-Quran, sehingga mereka menempatkan posisi al-Quran sama dengan posisi Bible. Studi Biblical Critism terhadap al-Quran ini mulai muncul sejak abad ke-19. Di antara sarjana Barat, orientalis dan Islamolog Barat yang menerapkan metode ini adalah; Abraham Geiger, Gustav Weil, William Muir, Theodor Noldeke, W. Montgomery Watt, Kenneth Cragg, John Wansbrough, dan yang masih hidup seperti Andrew Rippin, Christoph Luxenberg, Daniel A. Madigan, Haraid Motzki dan masih banyak lagi lainnya (Adnin Armas. 2005: 36)
     Orientalis yang termasuk pelopor awal dalam menggunakan Biblical critism ke dalam Al-Qur’an adalah Abraham Geiger (m. 1874), seorang Rabbi sekaligus pendiri Yahudi Liberal di Jerman. Pada tahun 1833, Geiger menulis Was hat Mohammed aus dem Judenthume aufgenommen? (Apa yang telah Muhammad Pinjam dari Yahudi?). Di dalam karyanya tersebut, ia mengkaji AI-Qur’an dari konteks ajaran-ajaran Yahudi. Ia melihat sumber-sumber Al-Qur’an dapat dilacak di dalam agama Yahudi.
     Setelah itu, berbodong-bondonglah para orientalis melakukan kajian kritis terhadap teks al-Quran, sebagaimana pada Bible, mereka menyamakan al-Quran dan Bible sebagai sebuah teks saja. Gerd R. Joseph Puin, seorang Orientalis pengkaji al-Quran telah menyarankan perlunya studi ke`sejarahan al-Quran, ia mengatakan:
“Begitu banyak kaum muslimin beranggapan bahwa al-Quran merupakan kata-kata Tuhan yang tidak pernah mengalami perubahan”.  Dan ia juga mengatakan: “Mereka (para cedekiawan) sengaja mengutip karya naskah yang menunjukkan bahwa Bible memiliki sejarah dan tidak langsung turun dari langit, namun sampai sekarang al-Quran masih berada di luar konteks pembicaraan ini. Satu-satunya cara menggempur dinding penghalang ini adalah mengadakan pembuktian bahwa al-Quran memiliki sejarah”.
     Pendapat Nasr Hamid bahwa al-Quran adalah ‘produk budaya’ adalah problematik. Kapan al-Quran menjadi produk budaya? Jika al-Quran menjadi produk budaya ketika wahyu selesai, maka dalam rentang waktu wahyu pertama turun hingga wahyu selesai, al-Quran berada dalam keadaan pasif karena ia produk budaya Arab Jahiliyah. Namun, ini pendapat salah, karena ketika diturunkan secara berangsur-angsur al-Quran ditentang dan menentang budaya Arab Jahiliyah saat itu. Jadi, al-Quran bukanlah produk budaya, karena al-Quran bukanlah hasil kesinambungan dari budaya yang ada. Al-Quran justru membawa budaya baru dengan mengubah budaya yang ada.
     Menurut Prof. Naquib al-Attas, bahasa Arab al-Quran adalah bahasa Arab bentuk baru. Sejumlah kosa-kata pada saat itu, telah di-Islam-kan maknanya.            Al-Quran mengislamkan dan membentuk makna-makna baru dalam kosa kata bahasa Arab. Kata-kata penghormatan (muruwwah), kemuliaan (karamah), dan persaudaraan (ikhwah), misalnya, sudah ada sebelum Islam.
     Tapi, kata-kata itu di Islamkan dan diberi makna baru, yang berbeda dengan makna zaman jahiliyah. Kata ‘karamah’, misalnya, yang sebelumnya bermakna ‘memiliki banyak anak, harta, dan karakter tertentu yang merefleksikan kelelakian’, diubah al-Quran dengan memperkenalkan unsur ketakwaan (taqwa). Contoh lain, juga pada ‘ikhwah’, yang berkonotasi kekuatan dan kesombongan kesukuan. Diubah maknanya oleh al-Quran, dengan memperkenalkan gagasan persaudaraan yang dibangun atas dasar keimanan, yang lebih tinggi daripada persaudaraan darah.
D.      Nabi Muhammad ` sebagai pengarang al-Quran
     Studi Nasr Hamid selanjutnya adalah analisa terhadap corak sebuah teks yang dengan hal itu dapat diketahui kondisi pengarang teks tersebut. Pendapat Nasr Hamid ini ia adopsi dari tokoh hermeneutika modern, Frederich Schleirmacher yang merumuskan teori hermeuneutikanya berdasarkan pada analisa terhadap pengertian tata bahasa dan kondisi (sosial, budaya dan kejiwaan) pengarangnya.
     Karen Armstrong telah meresume pandangan Schleirmacher terhadap Bibel sebagai berikut: Bahwa Bibel adalah sangat penting bagi kehidupan kaum Kristen, karena ia adalah satu−satunya sumber informasi tentang Yesus. Tapi, karena penulis−penulis Bibel terkondisi dalam lingkungan sejarah dimana mereka hidup, maka adalah sah−sah saja untuk mengkritisi dengan cermat karya mereka.
     Schleirmacher mengakui bahwa kehidupan Yesus adalah wahyu suci, tetapi para penulis Bibel adalah manusia biasa yang bisa salah dan bisa terjebak dalam dosa. Karena itulah, mereka mungkin saja berbuat kesalahan. Karena itulah, menurut Schleirmacher, tugas para sarjana Bibel adalah membuang aspek−aspek kultural dari Bibel dan menemukanintisarinya yang bersifat abadi. Tidak setiap kata dalam Bibel adalah otoritatif, karena itu, kata Schleirmacher, seorang penafsir harus mampu membedakan mana ide−ide yang marginal dan ide inti dalam Bibel. (Adian Husaini. 6/6/2010)
     Dari sini kita dapat dengan mudah mengetahui pengaruh penafsiran kaum Liberal Yahudi dan Kristen terhadap Nasr Hamid. Setelah itu Nasr Hamid tampil cerdik, dengan menempatkan Nabi Muhammad ` sebagai penerima wahyu pada posisi semacam “pengarang al-Quran”, dia menulis dalam bukunya Mafhum al-Nash:
     “Bahwa al-Quran yang diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada seorang Muhammad yang manusia. Bahwa, Muhammad, sebagai penerima pertama, sekaligus penyampai teks adalah bagian dari realitas dan masyarakat. Ia adalah buah dan produk dari masyarakatnya. Ia tumbuh dan berkembang di Makkah sebagai anak yatim, dididik dalam suku Bani Sa’ad sebagaimana anak-anak sebayanya di perkampungan Badui. Dengan demikian, membahas Muhammad sebagai penerima teks pertama, berarti tidak membicarakannya sebagai penerima pasif. Membicarakan dia berarti membicarakan seorang manusia yang dalam dirinya terdapat harapan-harapan masyarakat yang terkait dengannya. Intinya, Muhammad adalah bagian dari sosial budaya dan sejarah masyarakatnya”.
     Pendapat Nasr Hamid Abu Zayd  ini merusak konsep dasar Al Qur’an yang dianut sebagian besar umat Islam, bahwasanya Muhammad hanyalah sebagai penyampai wahyu saja, beliau tidak merubah sedikitpun yang diterimanya dari Allah I. Beliau pun Ma’shum artinya terjaga dari kesalahan. Al Qur’an menyebutkan yang artinya:
“Dan Dia (Muhammad) tidak menyampaikan sesuatu, kecuali (dari) wahyu yang di wahyukan kepadanya”. (QS. Al Najm:3)
     Dengan menyebut al-Quran sebagai cultural product dan menempatkan posisi Nabi Muhammad ` sebagai pengarang al-Quran, maka Nasr Hamid telah melepaskan posisi al-Quran sebagai kalamullah yang suci dan menghilangkan sakralitas al-Quran dan menjadikan al-Quran hanya teks manusiawi atau hasil pengalaman individual yang diperoleh nabi Muhamamad ` dalam waktu dan tempat tertentu yang latar belakang sejarah sangat mewarnai pemikirannya.
     Dalam buku terbitan PT Gramedia yang ditulis oleh tiga personel Islam Liberal yaitu Abd Moqsith Ghazali, Luthfi Assyaukanie, dan Ulil Abshar Abdalla yang berjudul “Metodologi Studi al-Quran” disebutkan secara jelas tentang penolakan mereka terhadap pemahaman dan keyakinan  umat Islam bahwa al-Quran adalah kalamullah. Kaum Liberal menganggap bahwa al-Quran adalah kata-kata Muhammad `, ditulis dalam buku tersebut:
“Muhammad bukan sebuah disket, melainkan orang yang cerdas, maka tatkala menerima wahyu, Muhammad ikut aktif memahami dan kemudian mengungkapkannya dalam bahasa Arabnya sendiri. Karena itu, menurut Nasr Hamid Abu Zaid tidak bertentangan jika dikatakan bahwa al-Quran adalah wahyu Tuhan dengan teks Muhammad (Muhammadan text).”
     Menurut Dawam Raharjo, perbedaan pandangan terhadap konsep al-Quran apakah kalamullah atau kata-kata Muhammad merupakan perbedaan utama antara metode Tafsir klasik dengan metode Hermeuneutika, ia mengatakan: “Metode Hermeuneutika ini berbeda dengan penekanan tafsir al-Quran tradisional yang bertolak dari kepercayaan bahwa al-Quran itu adalah kalam  ilahi. Dalam pengertian itu, Tuhan tidak dipandang sebagai pengarang, sebagaimana manusia yang mengarang puisi atau prosa. Dalam menafsirkan al-Quran, para penafsir tidak melihat latarbelakang social Tuhan yang memengaruhi perkataan Tuhan. Sedangkan dalam hermeuneutika, penafsir teks berusaha memahami teks dengan mempelajari pengarangnya, bahkan pembacanya, ketika teks itu diciptakan atau ditafsirkan kemudian.”
Ia juga menyatakan: “Disinilah perlunya metode hermeuneutika, yang mencoba memahami teks berikut dengan mempelajari konteks, sehingga para penafsir bisa menemukan esensi makna suatu ayat yang mungkin saja keliru sebagaimana pernah diwacamakan oleh Muhamamad Abduh.” (Nasr Hamid Abu Zaid. 1997: 59)
Pendapat-pendapat Nasr Hamid juga banyak diikuti oleh IAIN, banyak dosen dan mahasiswa UIN yang secara terang-terangan mengusung pendapat Nasr Hamid, seperti seorang dosen di IAIN Surabaya bernama Suhalwi Ruba, dihadapan mahasiswanya ia menuliskan lafal Allah I pada secarik kertas sebesar telapak tangan dan menginjaknya dengan sepatu, sambil mengatakan: “al-Quran dipandang sakral secara substansi,tapi tulisannya tidak sakral”. Menurut Suhalwi, al-Quran sebagai kalam Allah I adalah makhluk ciptaan-Nya, sedangkan al-Quran sebagai mushaf adalah budaya karena bahasa Arab, huruf hijaiyah dan kertas merupakan hasil cipta manusia. Teori Nasr Abu Zaid
E.     Analisis kritis
     Perkembangan studi metodologi tafsir al- Qur’an yang pesat sebenarnya pada masa saat ini akan tumbuh karya tafsir dan metodologi tafsir dengan cirri khas, cita rasa model analisis dan perspektif yang cukup beragam dengan nuansanya sendiri- sendiri. Namun hingga kini gaya penulisan dan komentar al-Qur’an hamper tidak mengalami perubahan yang substansial, dengan tuntutan teoritiknya agar memiliki relevansi dengan kontek kekinian. Setidaknya didalam menafsirkan al-Qur’an berpeganng teguh pada tiga prinsip intetrelasi; Pertama; Interpretasi al-Qur’an dengan sudut pandang “ ilmiyah Rasinal”. Paling dekat dengan perspektif ini adalah interpretasi al-Qur’an dengan al-Qur’an yang sering digunakan sebagai pengapkiran terhadap seluruh keterkaitan secara material sebuah tradisi dalam bentuk laporan-laporan hadis dan komentar- komentar paling awal; Kedua; Selanjutnya menjaga kelayakan suatu interpretasi agar al- qur’an terbebas dari legenda-legenda bawaan, pikiran-pikieran primitive, cerita-cerita yang tidak masuyk akal, cerita fiktif dan tahyyul, Rasionalisasi doktrin, seperti tentang teori penciptaan yang dipaparkan dan dijustifikasikan dengan cara merujuk al-Qur’an.
     Kontek interelasi diatas umumnya dapat ditemukan dalam komentar-komentar moderen yang mencoba memperhatikan kandungan spiritual al-Qur’an serta petunjuk-petunjuknya. Pendekatan- pendekatan ini digunakan umpamanya oleh beberapa modernis.Dan pendekatan yang dilakukan oleh para modernes Muslim, termasuk didalamnya pendekatan yang dilakukan oleh Nasr Abu Zaid dalam memahami al-Qur’an.
     Hermeneutik dalam studi ini adalah mencoba berbicara pada tingkatan “ memahami“ dalam padanan translation, exegesis, commentary maupun interpretation di suatu sisi, juga dalam lingkup yang lebih luas, yakni mendivinisikan haskekat tek di sisi lain. Walaupun tidak ada perbedan secara etimologis antara herminautika dan pebnafsiran, tetapi dalam perjalanan sejarah keduanya dibedakan dalam tatanan teologis. Hermenautika menunjuk padsa tujuan, prinsip, dan treteria dari praktek. Dengan kata lain, hermenautik adalah seni interpretasi. Ia dapat berfungsi sebagai teori interprtasi, kajian filosofis, dan dapat pula berposisi sebagai kritik. Sedangkan penafsiran biasanya di sejajarkan dengan praktek penafsiran belaka.

















BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
     Dari beberapa urain diatas maka pemakalah menyimpulkan bahwa didalam studi hermaneutika Nasr Hamid Abu Zaid ini mencoba berbicara pada tinggkat pemahaman dalam padanan transilation exegesis, comentari maupun interpretation di suatu sisi , juga ruaglingkupnya yang lebih luas yaitu pendifinisian tentang hakekat teks di sisi lain. Secara etimologis hermaneutika menunjuk kepada tujuan, prinsip dan kreteria dari praktek tersebut, dengan ucapan lain hermaneutika adalah seni interpretasi yang dapat berfungsi sebagai teori interpretasi , kajian filosofis dan berposisi sebagai kritik.
     Teks al-Qur’an menurut Abu Zaid memiliki dimensi ilahiah dan manusiawi. Ketika al-Qur’an masih berupa kalamullah murni, nilai sakralitas al-Qur’an tidak perlu diragukan lagi. Namun, ketika al-Qur’an diwahyukan kepada Muhammad yang dengan segala budaya dan tradisinya dan menggunakan bahasa Arab, maka ketika itu al-Qur’an memasuki wilayah kesejarahan manusia dengan memakai struktur tata bahasa dan budaya Arab. Dalam hal ini, teks berubah dari wahyu menjadi sebuah pemahaman dan penafsiran.
     Abu Zaid menegaskan bahwa teks-teks agama adalah teks-teks linguistik. Sehingga teks-teks tersebut dapat diteliti dan dikaji dengan ilmu-ilmu linguistik. Dalam pembacaan teks dia berangkat dari analisis linguistik. Selain itu, agar dapat memahami pesan-pesan al-Qur’an maka dibutuhkan pembacaan produktif terhadap teks dengan menggunakan teori hermeneutika untuk menggali makna dan menemukan signifikansi.
     Pembacaan Abu Zaid Terhadap teks al-Qur’an lebih cenderung kepada model kritik terhadap penafsiran dan wacana yang berkembang di dunia Islam. Seperti diungkapkan pada pembahasan bagaimana ia memahami ayat waris yang kebenyakan orang hanya berhenti pada aspek makna dan tidak bergerak pada aspek signifikansi. Menurutnya, sikap wacana agama yang berhenti pada makna-makna saja, berujung dengan menarik mundur realitas sekaligus membekukan teks. Bagaimanapun, usaha pembacaan teks yang dilakukan Abu Zaid memberikan warna tersendiri dalam khazanah keilmuan Islam dalam bidang tafsir. Terlepas dari pemikirannya yang berani, yang melawan arus dari mainstream, beliau mampu menggugah para generasi-generasi Islam dan memaksanya untuk melihat, menganalisis, dan mengkritisi pemahaman-pemahaman lama yang dipandang telah final dan selesai.















Daftar Pustaka
Adnin Armas. 2005. Metodologi Bible Dalam Studi Al-Quran. Jakarta: Gema         Insani.
Adian Husaini. 2007. Ma Dan Abdurrahman Al-Baghdadi, Hermeuneutika Dan    Tafsir Al-Quran. Jakarta: Gema Insani Press.
Adian Husaini, Murid−Murid Nasr Hamid Abu Zayd Di             Indonesia, Http://Newsgroups.Derkeiler.Com/Archive/Soc/Soc.Culture.In  donesia, Diakses 6/6/2010
Fahruddin Faiz. 2007. Hermaneutika Qur’ani Antara Teks, Konteks, Dan   Kontektualisasi. Yogyakarta: Qalam.
Hery Sucipto. 2003. Ensiklopedi Tokoh Islam Dari Abu Bakr Hingga Nasr Dan     Qardhawi. Jakarta: Pt Mizan Publika .
Henri Shalahuddin. 2007. Al-Qur’an Dihujat. Jakarta: Al-Qalam.
Hilman Latief. 2003. Nasr Hamid Abu Zaid Kritik Teks Keagamaan. Yogya           Karta: El Saq Press.
Nasr Hamid Abu Zayd. 1994.  Mafhum Al-Nas: Dirasah Fi ‘Ulum Ai-Qur’an.       Beirut: Al-Markaz Al-Thaqafi Al-‘Arabi.
Nasr Hamid Abu Zaid. 2003. Kritik Wacana Agama. Yogyakarta: Lkis
Nasr Hamid Abu Zaid. 1997.  Mafhum Al-Nash. Beirut: Al-Markaz Al-Tsaqafi       Al-Arabi.



2 komentar:

  1. Merkur 3rd Chance Merkur 4th-Elevator - DACCASINO.COM
    Merkur 3rd Chance septcasino Merkur Double 바카라 Edge deccasino Safety Razor, Chrome · Merkur 3-Piece Double-Edge Safety Razor, Chrome · Merkur Double Edge

    BalasHapus
  2. MGM Resorts Casino & Hotel - Mapyro
    MGM Resorts 과천 출장샵 Casino & 삼척 출장안마 Hotel in Las Vegas offers 3 세종특별자치 출장마사지 hotel towers with a total of 2,748 오산 출장마사지 spacious hotel rooms. Each has a 파주 출장마사지 total of 2,817 suites and is

    BalasHapus